TUGAS ULUM AL-QUR'AN



Drs. Anhar Ansyory, M.Ag
TAHUN 2012
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Meresume Buku Ulumul Qur’an







oleh :
Dwi Prasetyo Asriyanto
NIM : A1711002
Dosen Pengampu : M. Masrukhan, ME
Program Studi : Akutansi Syari’ah




SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARI’AH
PUTERA BANGSA TEGAL
2018

Daftar isi
Bab I
Pendahuluan……………………………………………………………………………….  1
a)      Pengertian Wahyu …………………………………………………………………………………….. 1
b)      Pengertian AlQuran ……………………………………………………..………... 2
c)      Nama – nama Lain alquran ……………………………………………. ………… 3
Bab II
Sejara Singkat Turunnya AlQuran ………………………………………………….…… 5-7
Bab III
Sejarah Singkat Pengumpulan AlQuran ………………..……………………………… 8-11
Bab IV
Asbab al Nuzul ………………………………………………………………………… 12-14
Bab V
I’jaz AlQuran…………………………………………………………………………... 15-20
Bab VI
Tafsir dan Metode Tafsir ……………………………………………….……………… 21-25
Daftar Pustaka ………………………………………………..………………………………………….. 26









Bab I
Pendahuluan
Pengertian Ulumul Qur’an Secara Etimologis, kata ‘Ulum  jamak dari kata ‘Ilmu berarti paham dan menguasai. Menurut Al-Asfahani dan Al-Anbari, ‘ilm adalah idrakusysyai’ bi haqiqati  berarti mengetahui hakikat sesuatu. Ulumul Qur’an, kata majemuk yang terdiri atas dua kata, yaitu: ulum (jamak dari kata ilm, ilmu) yang berarti ilmu-ilmu; dan al-Qur’an, kitab suci umat Islam
1.    Secara Terminologis, dikemukakan pendapat para mufassir antara lain:
Menurut As-Suyuthi: “Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an, dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya baik yang.
“Ulumul Qur’an adalah pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an alKarim, dari segi turunnya, urutan-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirnya, mu’jizatnya, nasih dan mansukhnya, dan bantahan terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap Al-Qur’an dan sebagainya". Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan ‘Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang AlQur’an dari segi turunnya, asbabun-nuzulnya, penulisannya, pengumpulannya, bacaannya, makna-maknanya, tafsirnya, mu’jizatnya, hukum-hukumnya, nasih dan mansukhnya, bantahan-bantahan terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadap Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
2.    Pengertian Wahyu
Pengertian Wahyu Kata wahy dalam bahasa Indonesia disebut dengan wahyu dalam bentuk mashdar (infinitive). Menurut Al-Ashfahani, dalam mufradat Gharib al-Qur’an, makna awal dari kata adalah “isyarat yang cepat” , wahyu memiliki dua ciri utama, yakni “samar dan cepat” , maka secara etimologis kata wahyu sering diartikan sebagai: “permakluman secara samar, cepat dan terbatas hanya kepada orang yang diinginkan, tanpa diketahui oleh orang lain”.



3.         Beberapa Pengertian Wahyu Secara Etimologis wahyu berarti:
·         Pemberitahuan secara tersembunyi, cepat dan terbatas hanya kepada orang yang diinginkan, tanpa diketahui oleh orang lain.
·         Ilham yang bersifat naluriah atau bawaan dasar manusia
·         Ilham yang bersifat instingtif pada hewan, seperti wahyu kepada lebah
·         Isyarat yang cepat dalam bentuk sandi/lambang/simbul sebagai suatu permakluman , seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an
·         Bisikan dan tipudaya syetan untuk menjadikan yang buruk kelihatan baik dan indah kepda diri manusia
·         Apa yang disampaikan Allah kepada para Malaikat-Nya berupa suatu perintah yang harus dikerjakan.
Secara Terminologis Apabila wahyu ditinjau secara terminologis, terdapat beberapa pengertian antara lain:
a.       Wahyu adalah suatu pemberitahuan secara cepat dan tersembunyi dari Allah SWT    kepada para Rasul, baik melalui perantara maupun tidak.
b.      Wahyu adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada para Nabi-Nya.
c.       Wahyu adalah “pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari Allah SWT, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara maupun tanpa perantaraan"
d.      Wahyu adalah sebutan bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada Nabi-Nabi-Nya
4.             Pengertian Al-Qur’an
A.    Kata Qur’an dan Berbagai Bentuknya Kata Al-Qur’an dan kata lain yang seasal dengan kata tersebut di dalam Al-Qur’an di sebut 77 kali, tersebar di dalam berbagai surah, baik Makkiyah maupun Madaniyah.
B.     Asal Usul Makna dan Kata Al-Qur’an Para Ulama berbeda pendapat mengenai asal kata, dan makna kata Al-Qur'an:
Menurut Al-Farra’: kata Al-Qur’an berasal dari kata qarina di dalam bentuk kata kerja lampau, qarinah dalam bentuk kata benda tunggal, dan qara’in bentuk jamaknya. Dengan demikian, karena antara satu ayat dengan ayat yang lain terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian jelaslah bahwa nun yang terdapat pada kata Al-Qur’an bukanlah nun 10 tambahan melainkan nun asli dari kata qarina itu.

5.    Nama-nama Lain Al-Qur’an
·         Kitab
·         Furqan
·         Zikr
·         Tanzil
·         Nur (Cahaya)
6.    Cara Wahyu Diturunkan kepada Malaikat Wahyu (Qur’an) diturunkan langsung oleh Allah ke Lauh al-Mahfudz. Lauh Mahfuz berarti papan yang terjaga. Penyebutan ini hanya sekali dijumpai dalam Al-Qur’an. Adapun tentang cara Allah menurunkan Wahyu (Qur’an) kepada Malaikat, ada tiga pendapat:
·         Malaikat Jibril menerima wahyu secara pendengaran dari Allah dengan lafadznya yang khusus. Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus kepada Malaikat Jibril di Baitul Izzah yang berada di langit dunia pada malam lailatul qadar
·         Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuz.
·         Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad SAW.
Dari tiga pendapat tersebut, pendapat yang pertama itulah yang benar dan yang dijadikan pengangan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
7.    Cara Wahyu Diturunkan kepada Muhammad SAW Wahyu (Al-Qur’an) diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan berbagai cara :
·         Dengan bermimpi.
·         Datang dari belakang tabir atau hijab dengan mendengar kata-kata
·         Datang suara seperti gerincingan lonceng, Nabi merasakan sangat berat apabila datang dengan cara tersebut
·         Dengan menghembuskan ke dalam jiwa Nabi perkataan yang dimaksud, sebagaimana sabda Nabi SAW
·         Jibril mendatangi Nabi menyerupai seorang laki-laki yang sangat tampan, ini terkait dengan Hadis Nabi yang berisi dialog Nabi dengan Malaikat Jibril tentang iman. Jibril memperlihatkan dirinya dengan rupa yang asli yang mempunyai 600 sayap kepada Nabi Muhammad SAW.
·         Wahyu turun kepada Nabi bagaikan suara lebah. Diberitakan oleh Umar, bahwa apabila Rasulullah menerima wahyu, didengarlah di sisinya suara sebagai suara lebah.





Bab II
Sejarah Singkat Turunnya Al-Qur’an
1.      Jangka Waktu Turunnya Al-Qur'an Al-Qur’an diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad pada malam Isnain, tanggal 17 Ramadhan bersamaan dengan tanggal, 6 Agustus 610 M. Lama turunnya Al-Qur’an, menurut pendapat Al-Khudlary dalam Tarikh Tasyri’, menetapkan bahwa lama tempo Nuzul Qur’an dari permulaannya sehingga penghabisannya, 22 tahun 2 bulan 22 hari, yakni dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari milad Nabi, hingga 9 Dzulhijjah hari haji Akbar tahun ke 10 dari hijrah, atau tahun 63 dari milad Nabi Muhammad SAW.1 Adapun jumlah ayat, terdapat perbedaan pendapat para Ulama’ maupun mufassir. Muhammad ‘Abd al-‘Azhim azZarqani dalam kitabnya Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum alQur’an menyebutkan bahwa para penghitung jumlah ayatayat al-Qur’an sepakat pada angka 6200, tetapi berbeda pada puluhan dan satuannya. Menurut hitungan Ulama Madinah 6217 ayat, demikian pendapat Nafi’.
2.      Ayat-Ayat Yang Pertama dan Terakhir Turun
Al-Qur’an diturunkan pada dua tempat, yaitu di Makkah dan di Madinah. Adapun ayat-ayat yang pertama turun adalah 5 ayat dari Surat Al-‘Alaq
Ada yang berpendapat bahwa yang turun pertama adalah Ya ayyuhal muddassir dan ada juga yang berpendapat yang turun pertama adalah Surat Al-Fathihah, tetapi yang terkuat adalah lima ayat dari Surat al-‘Alaq. Az-Zarkasyi menyebutkan dalam kitabnya al-Burhan, hadits Aisyah yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun adalah Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq.
3.      Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Bertahap
·         Untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW atas hinaan dan hujatan kafir Quraisy yang menentang,
·         Tantangan dan Mukjizat, Nabi sering mendapatkan pertanyaan yang memojokkan Nabi seperti pertanyaan tentang hal-hal ghaib, Nabi merasa terbantu.
·         Mempermudah penghapalan dan pengamalannya, sekiranya Al-Qur’an diturunkan sekaligus, akan lebih sukar dalam penghapala, pemahaman dan pengamalannya.
·         Untuk menerapkan hukum secara bertahap sesuai dengan kondisi dan situasi pada saat itu.
Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an bukan rekayasa Nabi Muhammad, meskipun rangkaian ayat-ayatnya turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari (lebih kurang 23 tahun).
4.    Perbedaan antara Al-Qur’an dengan Hadits Qudsi
·         Lafaz, dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sedangkan hadits qudsi hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT
·         Al-Qur’an mengandung mukjizat, sedangkan hadits tidak.
·         AL-Qur’an tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang-orang yang berhadas, sedangkan hadits qudsi boleh dipegang dan dibaca oleh orang-orang berhadas.
·         Periwayatan Al-Qur’an tidak boleh hanya dengan maknanya saja, sedangkan hadits qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya saja.
·         Al-Qur’an harus dibaca di waktu shalat, sedangkan hadits qudsi tidak boleh dibaca di waktu shalat.
·         Semua ayat Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir, sedangkan hadits qudsi tidak semua diriwayatkan secara mutawatir, tetapi maknanya berasal dari Allah Swt.
·         Al-Qur’an adalah wahyu yang besar, dibuktikan dengan turunnya malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam keadaan sadar. Sedangkan hadits Qudsi biasanya lewat ilham dan mimpi, yang kadar turunnya kadang merupakan wahyu yang besar dan ringan.
·         Al-Qur’an disebut kumpulan ayat dan surat, sedangkan hadits qudsi tidak disepakati adanya ayat dan surat.
·         Al-Qur’an mengkafirkan orang yang membantah apa yang ada padanya. Sedangkan hadits qudsi tidak membuat kafir orang yang membantahnya, kecuali yang mutawatir.
5.      Ayat-Ayat Makkiyah dan Ayat-ayat Madaniyah
Para ulama berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dengan makkiyah dan madaniyah, serta mengenai mengapa sebuah surat dan ayat disebut demikian. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah itu makiyah atau madaniyah paling tidak harus dilihat dari dua pandangan, yaitu: pandangan adanya dhawabith dan Mumayyizat, seperti pada surat-surat madaniyah. Yang dimaksud dengan dhawabith adalah karakter-karakter lafal. Sedangkan, mumayyizat adalah karakter-karakter gaya bahasa, makna-makna dan tujuan surat-surat makkiyah dan madaniyah. Diantara dhawabith atau kekhususan yang terdapat pada surat-surat makkiyah adalah
·         Setiap surat yang didalamnya terdapat kalimat “kalla” adalah makkiyah. Kalimat “kalla” disebut 33 kali dalam 15 surat. Hikmah “kalla” yang demikian itu untuk menahan dan melarang orang yang sombong dan keras kepala. Demikian itu cocok digunakan untuk berbicara kepada kaum musyrikin di Makkah.
·         Setiap surat yang didalamnya terdapat ayat-ayat sajdah, adalah makkiyah. Ada 14 surat, antara lain yakni al-A’raf, ar-Ra’d, an-Nahl, al-Isra’, Maryam, dan al-Hajj.
·         Setiap surat yang dimulai dengan qasam atau sumpah ada 15 surat, antara lain: ash-Shaffat, adz-Dzariyat, athThuur, an-Najm, al-Mursalat, al-Buruj, ath-Thariq, alFajr, al-Adiyat, dan al-Ashr.
·         Setiap surat yang dibuka dengan huruf huruf hijaiyyah, seperti “alif-lam-mim” dan “haa-mim” dan lain-lain.
·         Setiap surat yang memuat “Ya ayyuhan-naas”, serta tidak memuat “Ya ayyuhal-ladzina amanu”, kecuali pada surat al-Hajj, yang diakhir surat memuatnya, namun ia tetap makkiyah.
6.    Keistimewaan Surat-Surat Makkiyah
·         Diantara keistimewaan-keistimewaan surat Makkiyah, dapat dikemukakan:
·         Pembekalan aqidah Islam dalam jiwa memalui ajakan beribadah kepada Allah Yang Esa, beriman kepada risalah Muhammad SAW dan kepada hari Akhir.
·         Penetapan dasar-dasar ibadah dan muammalah dan etika keutamaan-keutamaan umum.
·         Perhatian terhadap rincian kisah-kisah para Nabi dan ummat-ummat terdahulu, menjelaskan tentang ajakan para Nabi yang berupa aqidah dan sikap-sikap ummat mereka terhadap azab-azab yang di bumi.
·         Surat-surat dan ayat-ayat yang dibarengi dengan kuatnya pilihan diksi dan peristiwa (yang dihadirkan kiamat).



7.             Ciri-Ciri Surat Madaniyah
·         Setiap surat yang didalamnya terdapat kalimat “Ya ayyuhalladzina amanu” dan tidak terdapat kalimat “ya ayyuhannas”. Suyuthi berkata: “Dari Alqamah, dari Abdullah bin Mas’ud: “Ya ayyuhal-ladzina amanu” diturunkan di Madinah. Sedangkan yang memuat “ya ayyuhan-nas” diturunkan di Makkah"
·         Setiap surat yang didalamnya menyinggung mengenai orang-orang munafiq. Makki bin Abu Thalib Alqaisy berkata: “Setiap surat yang didalamnya disebut mengenai orang-orang munafiq adalah madaniyyah”. Yang lain menambahkan, pengecualian, yakni pada surat al-Ankabut.
·         Setiap surat yang memuat batasan hukuman atau penjelasan mengenai kewajiban. Urwah bin Az-Zubair berkata, “Ayat-ayat yang mengandung hukuman (hadd) atau kewajiban (faridhah), sesungguhnya diturunkan di Madinah”.
8.         Keistimewaan Surat Madaniyah
·         Al-Qur’an berbicara kepada masyarakat Islam Madinah, pada umumnya berisi tentang penetapan hukum-hukum syariah, ibadah dan muamalah, sanksi-sanksi, kewajibankewajiban, hukum jihad, dan lain-lain.
·         Didalam masyarakat Madinah tumbuh sekelompok orang munafiq, lalu Al-Qur’an membicarakan sifat-sifat mereka dan menguak rahasia mereka. Al-Qur’an menjelaskan bahaya mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin serta membeberkan media-media, tipuantipuan, serta strategi mereka untuk memperdaya kaum Muslimin.
·         Diantara orang-orang Islam di Madinah, hiduplah sekelompok ahli kitab bangsa Yahudi. Mereka selalu melakukan perbuatan licik, memperdaya Islam dan pemeluknya. Maka Al-Qur’an di Madinah membeberkan rahasia-rahasia mereka dan membatalkan keyakinankeyakinan mereka.
·         Pada umumnya, ayat-ayat dan surat-suratnya panjang dan untuk menggambarkan luasnya aqidah dan hukum-hukum Islam.





Bab III
Sejarah Singkat Pengumpulan Al-Qur’an
Pengumpulan Al-Qur’an pada garis besarnya dibagi dalam tiga bagian. Pertama, pada zaman Nabi Muhammad SAW. Kedua pada zaman Abu Bakar Shiddiq dan ketiga, pada zaman Usman bin Affan. Autentisitas atau keaslian Al-Qur’an akan tetap terjaga dari berbagai upaya pikiran dan politik manusia-manusia kotor dari zaman ke zaman yang ingin merubah, memalsukan bahkan melenyapkan Al-Qur’an dari muka bumi ini, karena sudah menjadi janji dan jaminan Allah SWT yang akan tetap menjaga autentisitas Al-Qur’an, Allah menjamin autentisitas Al-Qur’an paling tidak dilatarbelakangi oleh dua faktor. Pertama, karena Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk hidup bagi manusia selama dunia ini belum fana. Kedua, selalu ada upaya manusia dari zaman ke zaman untuk memalsukan bahkan memusnahkan.
Allah menjamin autentisitas Al-Qur’an paling tidak dilatarbelakangi oleh dua faktor. Pertama, karena Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk hidup bagi manusia selama dunia ini belum fana. Kedua, selalu ada upaya manusia dari zaman ke zaman untuk memalsukan bahkan memusnahkan.
1.      Pengumpulan Al-Qur’an pada Zaman Rasulullah
 Sejak pertama turunnya Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW dimudahkan untuk langsung menghafal dan membaca ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah kepada beliau, walaupun dikenal bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang ummy. 
Para sahabat berlomba-lomba menghafal ayat-ayat yang diturunkan. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan. Sehingga jumlah mereka yang hafal Al-Qur’an sangat banyak.
Sebelum wafat, Nabi telah mencocokkan Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada beliau dengan Qur’an yang dihafal para hafizh, surat-demi surat, ayat demi ayat. Maka Al-Qur’an yang dihafal para hafizh itu merupakan duplikat Al-Qur’an yang dihafal Rasul.



Mengapa pada zaman Nabi Muhammad SAW AlQur’an tidak dihimpun dalam satu mushaf? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Az-Zarqani mengemukakan beberapa beberapa alasan:
·         Umat Islam belum membutuhkannya karena para qurra’ banyak, hafalan lebih diutamakan daripada tulisan, alat tulis-menulis sangat terbatas, dan yang lebih penting lagi, Rasul masih hidup sebagai rujukan utama.
·         Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun, dan masih mungkin ada ayat-ayat yang akan di-shakh oleh Allah SWT.
·         Susunan ayat-ayat dan suratsurat Al-Qur’an tidaklah berdasarkan kronologis turunnya
2.      Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar AshShiddiq
Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq pengumpulan AlQur’an dalam sebuah mushaf dilatarbelakangi oleh adanya kehawatiran Umar ibn Khathab, mengingat bahwa dalam perang Yamamah yang terjadi pada tahun 12 Hijrah telah mengakibatkan gugurnya 70 (tujuh puluh) qari’, lama-lama biasa habis para sahabat yang hafal Al-Qur’an.
Setelah Abu Bakar sepakat dengan usul Umar ibn Khattab, kemudian Abu Bakar memilih orang yang paling tepat untuk melaksanakan tugas suci tersebut adalah Zaid ibn Tsabit, dan Umar juga menyetujui pilihan Abu Bakar, karena Zaid ibn Tsabit:
·         Termasuk barisan huffazh Al-Qur’an dan sekaligus salah seorang penulis wahyu yang ditunjuk Nabi SAW, apalagi dia menyaksikan tahap-tahap akhir Al-Qur’an diturunkan kepada Rasul SAW.
·         Terkenal cerdas, sangat wara’ , amanah dan istiqamah. Seperti halnya Abu Bakar, semula Zaid juga ragu-ragu menerima tugas tersebut, tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar, akhirnya dia bersedia melaksanakannya di bawah bimbingan Abu Bakar, Umar dan para sahabat senior lainnya.

3.      Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Utsman ibn Affan
Fokus dan latarbelakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman ibn Affan berbeda dengan fokus dan latarbelakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, pengumpulan pada masa Abu Bakar difokuskan pada pemindahan semua tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang, tembikar dan pelapah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf dan dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran bahwa AlQur’an akan hilang lenyap seiring dengan banyaknya para penghapal Qur’an yang gugur di medan perang. Sedangkan pengumpulan pada masa Khalifah Utsman difokuskan pada penyamaan dialek, mushaf ditulis dengan satu huruf (dialek), agar orang bersatu dalam satu qiraat. Adapun pengumpulan pada masa Utsman dilatarbelakangi oleh banyaknya perbedaan hal qiraat (dalam cara membaca Qur’an), sehingga mereka bebas membacanya menurut logat mereka masing-masing dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan. Perbedaan tersebut terjadi di saat Khilafah Islamiyah semakin meluas ke utara dan Afrika utara. Umat Islam di masing-masing propinsi waktu itu mengikuti qiraah sahabat yang berbeda-beda. Misalnya umat Islam di Syam Mengikuti qiraah Ubayya ibn Ka’ab, umat Islam di Kufah mengikuti qiraah Abdullah ibn Mas’ud dan wilayah lain mengikuti qiraah Abu Musa Al-Asy’ari. Perbedaan qiro'ah seperti itu menjadi masalah bagi sebagian umat Islam. Perbedaan pendapat yang terjadi tentang qiraah antara umat Islam dari Irak dengan umat Islam dari Syam waktu perang Armenia dilaporkan oleh Hudzaifah ibn al-Yaman kepada Khalifah Utsman. Kalau tidak segera diatasi, dikhawatirkan pada masa yang akan datang akan menimbulkan fitnah dan malapetaka besar bagi umat Islam. Ternyata memang Utsman khawatir, kehawatiran ‘Utsman dapat dibaca jelas dalam pidatonya waktu itu: “Anda semua yang dekat denganku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih berbeda lagi”. (HR Abu Daud). Utsman segera mengambil langkah antisipatif dengan membentuk sebuah tim penulisan kembali Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan acuan utama mushaf Abu Bakar. Utsman meminjam mushaf yang disimpan Hafsah, selanjutnya menyerahkannya kepad Tim yang terdiri dari empat orang sahabat terbaik dan terpercaya untuk melaksanakan tugas suci tersebut. Ketua tim Zaid ibn Tsabit, anggota Abdullah ibn Zubair, Sa’ad ibn Ash dan Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam. Tiga anggota berasal dari suku Quraisy, berbeda dengan Zaid yang dari Madinah. Komposisi tiga orang dari Quraisy itu diperlukan dalam memenangkan logat atau dialek Quraisy apabila terjadi perbedaan pendapat antara anggota tim dengan Zaid. Utsman memang memberi petunjuk seperti itu, apabila terjadi perbedaan pendapat dengan Zaid, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam logat mereka dan tim tetap bekerja di bawah arahan Utsman. Sistem penulisan inilah kemudian dikenal dengan sebutan ar-Rasmul-Usmani.

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dibuat dan yang dikirimkan ke berbagai daerah:
·         Ada yang mengatakan jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirim ke Makah, Syam, Basrah, Kufah, Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: “Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: "Telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirim ke Makah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah dan sebuah ditahan di Madinah.”
·         Ada yang mengatakan jumlahnya ada empat buah, masingmasing dikirim ke Irak, Syam, Mesir, dan mushaf Imam, atau dikirim ke Kufah, Basrah, Syam dan mushaf Imam. Ada juga yang berpendapat bahwa Utsman menulis empat buah salinan, dan ia kirimkan ke setiap daerah masing- masing satu buah: ke Kufah, Basrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.
·         Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang mashur. 
·         Ibrahim Al-Ibyariy dalam kitabnya berjudul Tarikhul Qur’an (alih bahasa Saad Abdul Wahid), menegaskan bahwa yang dibuat Usman enam buah mushaf, dikirimkan ke Makkah, Syria, Bahrain, Bashrah, Kufah dan yang satu disimpan di Madinah. Kemudian Utsman memerintahkan agar semua mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsman dimusnahkan.














Bab IV
Asbab al-Nuzul
1.      Pengertian Asbab al-Nuzul
 Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk hidup manusia dalam menghadapi situasi dan berbagai dimensi permasalah. Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan dalam waktu dan keadaan yang berbeda-beda. Kata asbab jamak dari sabab berarti alasan-alasan atau sebab-sebab. Asbab al-nuzul berarti pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat. Menurut al-Zarqani, asbab al-nuzul adalah “suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat". Pendapat yang hampir sama dikemukakan Shubhi al-Shalih: “Sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.” Dengan demikian unsur-unsur yang tidak boleh diabaikan dalam analisa asbab al-nuzul, yaitu adanya suatu kasus atau peristiwa, adanya pelaku peristiwa, adanya tempat peristiwa, dan adanya waktu peristiwa. Kualitas peristiwa, pelaku, tempat dan waktu perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu pada kasus lain di tempat dan waktu yang berbeda.

2.      Fungsi Memahami Asbab al-Nuzul Adapun fungsi memahami asbab al-nuzul antara lain:

·         Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama.
·         Mengetahui asbab al-nuzul membantu memberikan kejelasan terhadap beberapa ayat. Misalnya Urwah bin Zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardhu sa’i antara Shafa dan Marwah.
·         Pengetahuan asbab al-nuzul dapat mengkhususkan (takhsis) hukum terbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah “sabab khusus”.
·         Yang paling penting ialah, asbab al-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu diperankan. Maksud yang sesungguhnya suatu ayat dapat difahami melalui pengenalan asbab al-nuzul.

3.      Cara-cara Mengetahui Asbab al-Nuzul Asbab al-Nuzul diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang atau diterima. Riwayat yang dapat dipegang ialah riwayatriwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan para ahli hadits. Secara khusus dari riwayat asbab al-nuzul ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu itu diturunkan). Riwayat yang berasal dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabatnya, dianggap lemah (dha’if). Sebab itu, seseorang tidak dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis. Karena itu kita harus mempunyai pengetahuan tentang siapa yang meriwayatkan peristiwa tersebut, dan apakah waktu itu ia memang sunguh-sungguh menyaksikan dan kemudian siap yang menyampaikannya kepada kita.
4.      Jenis-jenis Asbab al-Nuzul Mengenai jenis-jenis asbab al-nuzul dapat dikatagorikan kedalam beberapa bentuk sebagai berikut:
·         Sebagai tanggapan atas suatu peristiwa umum. Bentuk sebab turunnya ayat sebagai tanggapan terhadap suatu peristiwa, misalnya riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah pernah ke Al-Bathha, dan ketika turun dari gunung beliau berseru: “Wahai para sahabat, berkumpullah”. Ketika melihat orang-orang Quraiys yang juga ikut mengelilingi, maka beliaupun bersabda: “Apakah engkau akan percaya, apabila aku katakan bahwa musuh tengah mengancam dari balik punggung gunung, dan mereka bersiap-siap menyerang, entah di pagi hari ataupun di petang hari”
·         Sebagai tanggapan atas peristiwa khusus. Contoh sebab turunnya ayat sebagai tanggapan atas suatu peristiwa khusus ialah turunnya surah Al-Baqarah ayat 158, sebagaimana telah diuraikan terdahulu.
·         Sebagai jawaban terhadap pertanyaan kepada Nabi. Asbab al-nuzul lainnya ada dalam bentuk pertanyaan kepada Rasulullah, seperti turunnya Firman Allah: "Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa’/4: 11).
·         Sebagai jawaban dari pertanyaan Nabi Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bertanya kepada kepada Malaikat Jibril, “Apa yang menghalangi kehadiranmu, sehingga lebih jarang muncul ketimbang masa-masa sebelumnya ?” Maka turunlah ayat di bawah ini sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi kepada Malaikat Jibril: “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (QS. Maryam/19: 64).
·         Sebagai tanggapan atas pertanyaan yang bersifat umum. Kadang para sahabat mengajukan pertanyaan yang bersifat umum kepada Nabi. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas bahwa di kalangan Yahudi, apabila wanita mereka sedang haid, mereka tidak makan bersama wanita tersebut, atau juga tidak tinggal serumah. orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah/2: 222).
·         Sebagai tanggapan terhadap orang-orang tertentu Adakalanya ayat-ayat Al-Qur’an turun untuk menanggapi keadaan tertentu atau orang-orang tertentu, seperti turunnya ayat di bawah ini: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.” (QS. Al-Baqarah/2: 196).
·         Beberapa sebab tapi satu wahyu Terkadang wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab, misalnya turunnya QS. Al-Ikhlas/ 112: 1-4. “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
·         Beberapa wahyu tetapi satu sebab Ada lagi beberapa ayat yang diturunkan untuk menanggapi satu peristiwa, misalnya ayat-ayat diturunkan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah, yaitu mengapa hanya lelaki saja yang disebut dalam al-Qur’an, yang diberi ganjaran. Menurut alHakim dan Tarmizi, pertanyaan itu menyebabkan turunnya tiga ayat di bawah ini. “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisiNya pahala yang baik.” (QS. Ali Imran/3:195).


Bab V
I’jaz Al-Qur’an
1.      Kemukjizatan Al-Qur'an
 I'jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an merupakan subsistem dari ‘Ulumul Qur’an yang harus difahami untuk memperkaya pemahaman terhadap Al-Qur’an. Pembahasan tentang kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain mengutamanya adalah untuk mengalahkan tukang-tukang sihir tersebut. (QS.7: 103-126, 26: 30-51, 20: 57-73). Zaman Nabi Muhammad adalah zaman keemasan kesusastraan Arab, maka mukjizat utamanya adalah AlQur’an, kitab suci yang ayat-ayatnya mengandung nilai sastra yang amat tinggi, sehingga tidak ada seorang manusiapun yang dapat membuat serupa dengan Al-Qur’an (QS. 2: 23, QS. 17: 88). Semua mukjizat para Nabi dan Rasul terdahulu dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya hanya diperlihatkan pada umat tertentu dan pada masa tertentu. Sedangkan mukjizat Al-Qur’an bersifat universal dan abadi, yakni berlaku untuk semua umat manusia sampai akhir zaman.
A.    Syarat-Syarat Mukjizat Menurut para mufassir paling tidak ada lima syarat mukjizat.
·         Mukjizat harus berupa sesuatu yang tidak disanggupi oleh selain Allah SWT.
·         Tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam. Penulis sendiri tidak sependapat dengan dua kata terakhir, karena menurut penulis tidak ada hukum alam, tetapi alam seharusnya tunduk kepada hukum Allah. Menurut penulis, yang tepat adalah “berlawanan dengan sunnatullah”.
·         Mukjizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seorang yang mengaku membawa risalah Allah SWT sebagai bukti atas kebenaran pengakuannya.
·         Terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat tersebut.
·         Tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut. Apabila lima sayarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidaklah disebut mukjizat dan bukan pula sebagi dalil dari kebenaran seseorang yang mengakunya.


B.     Beberapa Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad memiliki aspek-aspek kemukjizatan sebagai berikut:
·         Susunan bahasa yang indah, berbeda dengan setiap susunan bahasa yang ada dalam bahasa orang-orang Arab.
·         Adanya uslub-uslub yang aneh yang berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab.
·         Sifat agung (luarbiasa) yang tidak mungkin bagi seorang makhluk untuk mendatangkan/membuat hal yang seperti itu.
·         Bentuk undang-undang yang detail lagi sempurna yang melebihi setiap undang-undang buatan manusia.
·         Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
·         Tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya.
·         Menepati janji dan ancaman yang dikhabarkan Al-Qur’an.
·         Adanya ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
·         Memenuhi segala kebutuhan manusia.
·         Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuh. Demikianlah aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an, seyogyanya dapat dipahami oleh setiap orang Islam agar dapat mengambil manfaat yang terkandung di dalamnya.
C.     Macam-Macam Mukjizat Mukjizat pada garis besarnya dapat tibagi dua yaitu:
·         Mukjizat “Hissi”, ialah mukjizat yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dirasa oleh lidah, yang lebih tegas dapat dicapai oleh panca indragaja. Mukjizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan kepada manusia biasa, yakni mereka yang tidak biasa menggunakan kecerdasan fikirannya, yang tidak cakap pandangan mata hatinya dan yang rendah budi dan perasaannya.
·         Mukjizat “Ma’nawi”, ialah mukjizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indra, tetapi harus dicapai dengan kekuatan aqli dengan kecerdasan fikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal mukjizat ini melainkan orang yang berfikir sehat, bermata hati yang nyalang, berbudi luhur, dan yang suka mempergunakan kecerdasan fikirannya dengan jernih serta jujur.
2.      Gaya Bahasa Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab, karena adanya susunan yang indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui mereka dalam bahasa Arab. Bahasa dan kalimat-kalimat Al-Qur’an adalah kalimat, yang berbeda sekali dengan kalimat-kalimat di luar Al-Qur’an. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang dapat dirasakan sehingga di dalamnya dapat dirasakan ruh dinamika.
A.    Uslub-Uslub Al-Qur’an Uslub-uslub al-Qur’an sangat indah dan menakjubkan, benar-benar membuat orang-orang Arab maupun luar Arab kagum dan terpesona. Kehalusan bahasa, keanehan yang menakjubkan dalam ekspresi, ciri-ciri khas balaghah baik yang abstrak maupun yang kongkrit, dapat mengungkapkan rahasia keindahan dan kekudusan al-Qur’an. Nabi pernah menantang orang-orang kafir untuk bertanding melawan al-Qur’an. Ternyata mereka tidak mampu dan kebingungan. Jago-jago retorika Arab menjadi bungkam seribu bahasa
B.     Keistimewaan Uslub Al-Qur’an Uslub Al-Qur’an yang menakjubkan mempunyai beberapa keistimewaan antara lain:
·         Kelembutan Al-Qur’an secara lafdziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasanya.
·         Keserasian Al-Qur’an baik untuk awam maupun kaum cendekiawan dalam arti bahwa semua dapat merasakan keagungan dan keindahan Al-Qur’an.
·         Sesuai dengan akal dan perasaan, Al-Qur’an memberikan doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran dan keindahan sekaligus.
·         Keindahan sajian Al-Qur’an serta susunan bahasanya, seolah-olah merupakan suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan serta perhatian.
·         Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya, dalam arti bahwa satu makna diungkapkan dalam beberapa lafadz dan susunan yang bermacam-macam yang semuanya indah dan halus.
·         Al-Qur’an mencakup dan memenuhi persyaratan antara bentuk global (ijmal) dan bentuk yang terperinci (tafshil).
·         Dapat dimengerti sekaligus dengan melihat segi yang tersurat (yang dikemukakan).




3.      Hakikat Kemukjizatan Al-Qur’an
·         Bahasa. Kehebatan dan ketinggian bahasa Al-Qur’an dari berbagai aspek yang menyangkut kebahasan tidak bisa ditandingi oleh selain Allah.
·         Isi atau kandungan Al-Qur’an. Al-Qur’an antara lain berisi tentang:
a.         Iman.
b.        Ibadah.
c.         Akhlaq.
d.        Muamalah sekaligus sebagai sumber pemikiran sains dan teknologi.
·         Sejarah. Sejarah secara holistik, sejarah kehidupan dunia dan akhirat, sejarah alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan secara khusus sejarah manusia, baik sejarah manusia yang istiqamah di jalan Allah maupun sejarah manusia yang menjalani hidup di jalan yang sesat (jalan yang dimurkai Allah SWT).
·         Petunjuk hidup manusia yang bersifat kekal, dalam artian tetap terjaga autetisitasnya dan kebenarannya yang bersifat absolut karena pemeliharannya dijamin oleh Allah SWT dan tetap berlaku sepanjang kehidupan manusia.
4.      I’jaz Ilmi dan Pembuktian Ilmiah Yang dimaksud dengan i’jaz ilmi menurut S.Agil Husen Al-Munawar, guru besar dalam ‘Ulum Al-Qur’an, adalah isyarat-isyarat yang rumit terhadap sebagian ilmu pengetahuan alam telah disinggung Al-Qur’an sebelum pengetahuan itu sendiri sanggup menemukannya. Al-Qur’an bukan buku psikologi, tentang eksak maupun fisika, tetapi kitab hidayah dan irsyad, kitab tasyri’ dan islah. Tetapi AlQur’an memberikan pembuktian ilmiah, yang dinukil dari kitab “Ruh al-Din al-Islami” oleh Ustadz Afif Thabarah sebagai berikut:
·         Kesatuan alam. Teori ilmu pengetahuan modern telah membuktikan bahwa adalah salah satu dari sekumpulan planet yang telah memisah darinya dan membeku sehingga cocok untuk dihuni oleh manusia. Teori ini didukung oleh adanya gunung merapi yang memuntahkan lahar panas. Teori ini tepat sekali dengan ayat: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami 80 pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’/21: 30)

·         Terjadinya perkawinan dalam tiap-tiap benda. Selama ini mungkin orang hanya berkeyakinan bahwa perkawinan itu hanya terjadi bagi manusia laki-laki dan wanita, hewan jantan dan betina. Kemudian datang ilmu pengetahuan modern dan menetapkan bahwa perkawinan itu terjadi pula pada tumbuh-tumbuhan dan benda-benda (mati). Sampai pada listrik sekalipun ada pasangan arus positif dan arus negatif. Demikian pula atom, terdapat proton dan netron, yang masing-masing diistilahkan sebagai berpasang-pasangan, laki-laki dan wanita.Penemuan ini sebenarnya telah didahului oleh Al-Qur’an dalam banyak ayat antara lain: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasangpasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. Adz-Dzariyat/51: 49).
·         Berkurangnya oksigen. Sejak manusia mampu menjelajahi ruang angkasa dengan pesawat, maka pengamatan dan penelitian para ilmuan telah sampai kepada kesimpulan bahwa di angkasa oksigen itu berkurang. Manakala seorang penerbang meluncur tinggi ke angkasa, dadanya terasa sesak dan sulit bernafas. Oleh karenanya para penerbang harus memakai “oksigen buatan” saat mereka terbang dalam ketinggian 30.000 kaki lebih.Penemuan ini sebenarnya telah disinggung oleh Al-Qur’an jauh sebelum manusia melakukan penerbangan, Allah berfirman: “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (QS. Al-An’am/6: 125).
·         Khasiat Madu Dari hasil penelitian laboratorium USA, bahwa dalam 100 gr madu terkandung zat glukosa 34%, fruktosa 1,9%, sukrosa 40%. Zat gula glukosa dan fruktosa ini langsung diserap oleh usus tanpa proses lagi. Teori modern tentang madu ini sesuai dengan ayat: “Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buahbuahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orangorang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl/16: 69).
·         Asal Kejadian Kosmos Jean seorang ahli astronomi mengatakan bahwa alam ini pada mulanya adalah gas yang berserakan secara teratur di angkasa luas, sedangkan kabut-kabut atau kosmos-kosmos itu tercipta dari gas-gas tersebut yang memadat. Ayat di bawah ini memperkuat pendapat tersebut: “Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. (QS. Fushshilat/41: 11).
·         Penyerbukan dengan Angin Ilmu pengetahuan modern menetapkan bahwa angin bisa memindahkan serbuk jantan pada serbuk betina pada pohon kurma, tin dan pohon-pohon lain yang berbuah.Hal ini telah diinformasikan dalam Al-Qur’an: “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr/15: 22). Masih banyak lagi ayat-ayat tentang tumbuhtumbuhan, ayat-ayat tentang proses embriologi manusia.













Bab VI
Tafsir dan Metode Tafsir
1.      Pengertian Tafsir
 Sebelum membahas macam-macam metode tafsir, terlebih dahulu dibahas tentang pengertian tafsir. Kata tafsir berasal dari: . Kata tafsir adalah bentuk masdar dari fassara-yufassiru yang mengandung pengertian “penjelasan” dan “keterangan”. Kata tafsir berarti menerangkan sesuatu yang masih samar serta menyingkap sesuatu yang tertutup.
A.    Pengertian Tafsir Secara Etimologis
Secara etimologis, tafsir digunakan untuk menunjukkan maksud ‘menjelaskan’, ‘mengungkapkan’, dan ‘menerangkan’ sesuatu suatu masalah yang masih kabur, samar dan belum jelas
B.     Pengertian Tafsir Secara Terminologis Adapun pengertian tafsir secara terminologis terdapat beberapa pendapat:
·         Menurut Al-Kilbi: “Tafsir adalah mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya, menjelaskan apa yang dikehendaki oleh nashnya atau isyarahnya atau khulashah”.
·         Menurut Az-Zarqani: “Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’anul Karim dari segi dhalalahnya kepada yang dikehendaki oleh Allah sekedar yang disanggupi manusia”
·         Menurut Az-Zarkasyi “Tafsir adalah memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menerangkan maknanya, mengeluarkan hukumhukumnya dan hikmah-hikmahnya”.
Dari tiga pengertian terminologis tersebut dapat dirumuskan bahwa secara terminologis:
“Tafsir adalah mengkaji, memahami, dan menjelaskan AlQur’an baik dari segi kedalaman makna, isi dan maksud yang dikehendaki oleh Allah SWT sebatas maksimal kemampuan manusia”.
2.      Metode-Metode Tafsir Selama ini diketahui ada empat macam metode tafsir yang cukup popular di kalangan para akademisi yang memperhatikan kajian tafsir, yaitu metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan metode Maudhu'i.
A.    Tafsir Tahlili Tafsir Tahlili adalah mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu semua, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat, hadis-hadis Rasulullah SAW dan diwayat dari para Shahabat dan Tabi’in. Metode Tahlili dipergunakan oleh kebanyakan ulama’ pada masa-masa dahulu. Akan tetapi di antara mereka ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), ada yang dengan singkat (ijaz), dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (musawah). Para ulama’ membagi wujud tafsir al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam:
·         Tafsir bi al-Ma’tsur Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap maksud ayat al-Qur’an yang lain. Termasuk dalam tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran alQur’an dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para Shahabat berdasarkan ijtihad mereka, dan penafsiran alQur’an dengan pendapat Tabi’in. Di antara kitab tafsir bi alma’tsur adalah kitab: Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir al-Thabary.
·         Tafsir bi al-Ra’yi Tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an berdasarkan pendapat atau akal. Para ulama’ menegaskan bahwa tafsir bi al-ra’yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran bi al-ra’yi dapat dilihat dari kualitas penafsirannya. Syarat-Syarat Tafsir bi Al-Ra’yi Kewajiban yang harus ditaati oleh seorang mufassir yang berupaya mengomentari teks Al-Qur’an, harus berhatihati benar dalam menempuh manhaj, sebelum menggunakan ra’yu atau ijtihad, yang wajib ditaati:
Pertama: Hendaknya ia mencari makna al-Qur’an dari redaksi al-Qur’an itu sendiri. Jika ia tidak menemukannya di dalam sunnah Rasulullah SAW, karena sunnah adalah pensyarah al-Qur’an. Jika ia tidak menemukannya di dalam di dalam sunnah, maka hendaknya ia mencari dari pendapatpendapat para shahabat. Karena ia lebih mengetahui situasi dan kondisi turunnya ayat al-Qur’an.
Kedua: Apabila cara-cara di atas tidak dapat menafsirkan al-Qur’an dengan jelas atau tidak sesuai dengan konteks masa kini, maka mufassir hendaknya menempuh tahapan berikut:
a.       Mula-mula memperhatikan makna-makna lafadz yang tunggal, lalu ditinjaunya lafadz ini dari segi bahasa, sharaf, istiqaq dengan memperhatikan makna yang dipakai di masa al-Qur’an diturunkan.
b.      Memperhatikan susunan-susunan kalimat dari segi i’raf dan balaghah dan meresapi keindahannya dengan kekuatan ilmu bayan.
c.       Mendahulukan makna haqiqi atas makna majazy. Janganlah menggunakan makna majazy, kecuali tidak menggunakan tidak ditemukan makna hakikinya.
d.      Memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qiro’at dan kebiasaan budaya orang sekeliling Nabi, dan sejauh mana tingkat intelektualnya dalam memahami al-Qur’an.
e.       Memperhatikan tradisi historis, yang berisi bagaimana tingkat intelektualnya dalam memahami al-Qur’an.
f.        Memperhatikan korelasi antar ayat.
g.      Memperhatikan apa yang dimaksudkan dari siyaqul kalam.
h.      Menyesuaikan tafsir dengan ilmu-ilmu yang telah positif benarnya, sementara ini ilmu-ilmu kimia, ilmu fisika, biologi dan kosmologi.
i.        Merenungkan makna yang dimaksud dan hukum-hukum yang diistimbatkan dalam batas-batas undang-undang bahasa, undang-undang syari’at, undang-undang logika dan umum.
j.        Memelihara undang-undang tarjih diwaktu memerlukan tarjih. As-Suyuthy di dalam al-Itqan berkata: “Segala lafadz menerima makna dua atau lebih, makna itulah saatnya para ulama’ menjalankan ijtihadnya. Dan mereka harus memegang semata-mata pada ijtihad. Jika salah satu dari dua makna itu lebih jelas, wajiblah makna yang lebih jelas menjadi pegangan. Apabila kedua maknanya itu dipakai secara hakikat lughawy dan yang lainnya hakikat syar’i, maka wajiblah mengambil makna syar’i. Kecuali ada dalil bahwa makna yang dimaksud adalah makna menurut lughah.
·         Tafsir Shufi Tafsir Shufi adalah penafsiran yang dilakukan oleh para shufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat difahami kecuali oleh orang-orang shufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasauf. Contoh kitab tafsir shufi adalah kitab: Tafsir al-Qur’an al- ‘Adzhim, karangan Imam al-Tustury.
·         Tafsir Fiqhi Tafsir Fiqhi adalah penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh (tokoh) suatu mazhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya. Tafsir Fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh karangan imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda. Contoh kitab tafsir fiqhi adalah kitab: Ahkam al-Qur’an karangan al-Jasshash.
·         Tafsir Falsafi Tafsir falsafi adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat ketuhanan dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam semantik (logika). Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab: Mafatih al-Ghaib yang dikarang oleh al-Fakhr al-Razi.
·         Tafsir Ilmi Tafsir ilmi adalah penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. contoh kitab tafsir ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karangan al-’Allamah Wahid al-Din Khan.
·         Tafsir Adabi Tafsir Adabi adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaransasaran yang dituju oleh al-Qur’an, mungungkapkan hukumhukum alam, dan tantangan-tantangan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir Adabi merupakan tafsir corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasiarahasia al-Qur’an. Contoh kitab tafsir Adabi adalah adalah kitab tafsir al-Manar, karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
·         Tafsir Ijmali Tafsir Ijmali adalah penafsiran al-Qur’an dengan secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendakinya.Dengan metode ini, kadangkala pada ayat-ayat tertentu mufassir menunjukkan sebab turunnya ayat, peristiwa ayng dapat menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadits Rasulullah SAW atau pendapat ulama’ yang shaleh. Dengan cara demikian, dapatlah diperoleh pengetahuan yang sempurna dan sampailah kepada tujuannya dengan cara yang mudah, serta uraian yang singkat dan bagus.
·         Tafsir Maudhu’i Metode Tafsir Maudhu’i (tematik) yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah/tema serta mengarah kepada satu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya. Kemudian mufassir menentukan ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan (jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu, menguraikannya dengan sempurna, menjelaskan makna dan tujuannya, mengkaji seluruh segi dan apa yang dapat diistimbatkan darinya, segi i'rab-nya, unsur-unsur balaghahnya, i’jaz-nya (kemukjizatannya) dan lain-lain, sehingga satu tema itu dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur’an dan oleh karenanya, tidak diperlukan ayat-ayat lain.
Langkah-langkah Penerapan Metode Maudhu’i:
·         Memilih tema.
·         Menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengannya.
·         Menentukan urutan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan asbab an-nuzul-nya.
·         Menjelaskan munasabah (relevansi) antar ayat-ayat.
·         Membuat sistematika kajian dalam kerangka yang sistematis dan lengkap dengan out line-nya yang mencakup semua segi dan tema kajian.
·         Mengemukakan hadits-hadits yang berkaitan dengan tema, lalu di-takhrij untuk diterangkan derajat haditshadits tersebut. Dikemukakan pula atsar dari Shahabat dan Tabi’in.
·         Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bahasa) Arab dan syair-syair mereka yang berkaitan untuk menjelaskan lafadz-lafadz yang terdekat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema.
·         Kajian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dilakukan secara maudhu’i terhadap segala segi kandungannya, yaitu lafadz ‘amm, khash, muqayyat, mutlak syarat, jawab, hukum-hukum fiqih, nasakh dan yang mansukh, jika ada unsur balaghah dan i’jaz, berusaha memadukan antara ayat-ayat itu dengan ayatayat lain yang diduga kontradektif dengannya atau dengan hadits-hadits yang tidak sejalan dengannya atau dengan teori-teori ilmiah. Menolak kesamaran-kesamaran yang dengan sengaja ditaburkan oleh lawan-lawan Islam, menyebutkan penjelasan berbagai qira’ah, menerangkan makna ayat-ayat terhadap kehidupan kemasyarakatan dan tidak menyimpang dari sasaran yang dituju oleh tema kajian.

Daftar Pustaka

Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Penerjemah Samson Rahman, AKBAR Jakarta, 2003. Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Penerjemah: Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Qur‘an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press, 1997. M. Quraish Shihab (Ketua Tim), Sejarah dan ‘UlumulQur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999. M. Quraish Shihab (Pimpinan Tim Redaksi), Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata, Lentera Hati, Jakarta, 2007 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Lentera Antar Nusa, Jakarta, 1994. Said Agil Husin Al-Munawwar, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, CV Toha Putra Semarang, 1994. Siti Amanah, Pengantar Tafsir/Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, IAIN Walisongo Semarang, 1986. Daftar Pustaka Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, Mei 1997. Yunahar Ilyas, Al-Qur'an Al-Karim: Sejarah Pengumpulan & Metodologi Penafsiran, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ulumul Qur'an, UMY, 2008

Comments