Drs. Anhar Ansyory, M.Ag
TAHUN
2012
oleh
:
Dwi
Prasetyo Asriyanto
NIM
: A1711002
Dosen
Pengampu : M. Masrukhan, ME
Program
Studi : Akutansi Syari’ah
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARI’AH
PUTERA BANGSA TEGAL
2018
Daftar
isi
Bab I
Pendahuluan………………………………………………………………………………. 1
a)
Pengertian
Wahyu …………………………………………………………………………………….. 1
b)
Pengertian
AlQuran ……………………………………………………..………... 2
c)
Nama
– nama Lain alquran ……………………………………………. ………… 3
Bab II
Sejara Singkat
Turunnya AlQuran ………………………………………………….…… 5-7
Bab III
Sejarah Singkat
Pengumpulan AlQuran ………………..……………………………… 8-11
Bab IV
Asbab al Nuzul
………………………………………………………………………… 12-14
Bab V
I’jaz
AlQuran…………………………………………………………………………... 15-20
Bab VI
Tafsir dan Metode
Tafsir ……………………………………………….……………… 21-25
Daftar Pustaka
………………………………………………..………………………………………….. 26
Bab I
Pendahuluan
Pengertian
Ulumul Qur’an Secara Etimologis, kata ‘Ulum
jamak dari kata ‘Ilmu berarti paham dan menguasai. Menurut Al-Asfahani
dan Al-Anbari, ‘ilm adalah idrakusysyai’ bi haqiqati berarti mengetahui hakikat sesuatu. Ulumul
Qur’an, kata majemuk yang terdiri atas dua kata, yaitu: ulum (jamak dari kata
ilm, ilmu) yang berarti ilmu-ilmu; dan al-Qur’an, kitab suci umat Islam
1.
Secara
Terminologis, dikemukakan pendapat para mufassir antara lain:
Menurut
As-Suyuthi: “Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan
Al-Qur’an, dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya baik yang.
“Ulumul
Qur’an adalah pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an
alKarim, dari segi turunnya, urutan-urutannya, pengumpulannya, penulisannya,
bacaannya, tafsirnya, mu’jizatnya, nasih dan mansukhnya, dan bantahan terhadap
hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap Al-Qur’an dan
sebagainya". Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan ‘Ulumul Qur’an
adalah ilmu yang membahas tentang AlQur’an dari segi turunnya,
asbabun-nuzulnya, penulisannya, pengumpulannya, bacaannya, makna-maknanya,
tafsirnya, mu’jizatnya, hukum-hukumnya, nasih dan mansukhnya, bantahan-bantahan
terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadap Al-Qur’an, dan lain
sebagainya.
2. Pengertian Wahyu
Pengertian
Wahyu Kata wahy dalam bahasa Indonesia disebut dengan wahyu dalam bentuk
mashdar (infinitive). Menurut Al-Ashfahani, dalam mufradat Gharib al-Qur’an,
makna awal dari kata adalah “isyarat yang cepat” , wahyu memiliki dua ciri utama,
yakni “samar dan cepat” , maka secara etimologis kata wahyu sering diartikan
sebagai: “permakluman secara samar, cepat dan terbatas hanya kepada orang yang
diinginkan, tanpa diketahui oleh orang lain”.
3.
Beberapa
Pengertian Wahyu Secara Etimologis wahyu berarti:
·
Pemberitahuan
secara tersembunyi, cepat dan terbatas hanya kepada orang yang diinginkan,
tanpa diketahui oleh orang lain.
·
Ilham
yang bersifat naluriah atau bawaan dasar manusia
·
Ilham
yang bersifat instingtif pada hewan, seperti wahyu kepada lebah
·
Isyarat
yang cepat dalam bentuk sandi/lambang/simbul sebagai suatu permakluman ,
seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an
·
Bisikan
dan tipudaya syetan untuk menjadikan yang buruk kelihatan baik dan indah kepda
diri manusia
·
Apa
yang disampaikan Allah kepada para Malaikat-Nya berupa suatu perintah yang
harus dikerjakan.
Secara
Terminologis Apabila wahyu ditinjau secara terminologis, terdapat beberapa
pengertian antara lain:
a. Wahyu adalah suatu pemberitahuan secara
cepat dan tersembunyi dari Allah SWT kepada
para Rasul, baik melalui perantara maupun tidak.
b. Wahyu adalah kalam Allah SWT yang
diturunkan kepada para Nabi-Nya.
c. Wahyu adalah “pengetahuan yang didapat
seseorang di dalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari
Allah SWT, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara maupun tanpa
perantaraan"
d. Wahyu adalah sebutan bagi sesuatu yang
dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada Nabi-Nabi-Nya
4.
Pengertian
Al-Qur’an
A. Kata Qur’an dan Berbagai Bentuknya Kata
Al-Qur’an dan kata lain yang seasal dengan kata tersebut di dalam Al-Qur’an di
sebut 77 kali, tersebar di dalam berbagai surah, baik Makkiyah maupun
Madaniyah.
B. Asal Usul Makna dan Kata Al-Qur’an Para
Ulama berbeda pendapat mengenai asal kata, dan makna kata Al-Qur'an:
Menurut
Al-Farra’: kata Al-Qur’an berasal dari kata qarina di dalam bentuk kata kerja
lampau, qarinah dalam bentuk kata benda tunggal, dan qara’in bentuk jamaknya.
Dengan demikian, karena antara satu ayat dengan ayat yang lain terdapat
hubungan yang erat. Dengan demikian jelaslah bahwa nun yang terdapat pada kata
Al-Qur’an bukanlah nun 10 tambahan melainkan nun asli dari kata qarina itu.
5. Nama-nama Lain Al-Qur’an
·
Kitab
·
Furqan
·
Zikr
·
Tanzil
·
Nur (Cahaya)
6. Cara Wahyu Diturunkan kepada Malaikat
Wahyu (Qur’an) diturunkan langsung oleh Allah ke Lauh al-Mahfudz. Lauh Mahfuz
berarti papan yang terjaga. Penyebutan ini hanya sekali dijumpai dalam
Al-Qur’an. Adapun tentang cara Allah menurunkan Wahyu (Qur’an) kepada Malaikat,
ada tiga pendapat:
·
Malaikat
Jibril menerima wahyu secara pendengaran dari Allah dengan lafadznya yang
khusus. Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus kepada Malaikat Jibril di Baitul
Izzah yang berada di langit dunia pada malam lailatul qadar
·
Jibril
menghafalnya dari lauhul mahfuz.
·
Maknanya
disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal
Muhammad SAW.
Dari tiga pendapat
tersebut, pendapat yang pertama itulah yang benar dan yang dijadikan pengangan
oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
7. Cara Wahyu Diturunkan kepada Muhammad SAW
Wahyu (Al-Qur’an) diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan berbagai cara :
·
Dengan bermimpi.
·
Datang dari
belakang tabir atau hijab dengan mendengar kata-kata
·
Datang suara
seperti gerincingan lonceng, Nabi merasakan sangat berat apabila datang dengan
cara tersebut
·
Dengan
menghembuskan ke dalam jiwa Nabi perkataan yang dimaksud, sebagaimana sabda
Nabi SAW
·
Jibril mendatangi
Nabi menyerupai seorang laki-laki yang sangat tampan, ini terkait dengan Hadis Nabi
yang berisi dialog Nabi dengan Malaikat Jibril tentang iman. Jibril
memperlihatkan dirinya dengan rupa yang asli yang mempunyai 600 sayap kepada
Nabi Muhammad SAW.
·
Wahyu turun kepada
Nabi bagaikan suara lebah. Diberitakan oleh Umar, bahwa apabila Rasulullah
menerima wahyu, didengarlah di sisinya suara sebagai suara lebah.
Bab
II
Sejarah
Singkat Turunnya Al-Qur’an
1. Jangka Waktu Turunnya Al-Qur'an Al-Qur’an
diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad pada malam Isnain, tanggal 17
Ramadhan bersamaan dengan tanggal, 6 Agustus 610 M. Lama turunnya Al-Qur’an,
menurut pendapat Al-Khudlary dalam Tarikh Tasyri’, menetapkan bahwa lama tempo
Nuzul Qur’an dari permulaannya sehingga penghabisannya, 22 tahun 2 bulan 22
hari, yakni dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari milad Nabi, hingga 9
Dzulhijjah hari haji Akbar tahun ke 10 dari hijrah, atau tahun 63 dari milad
Nabi Muhammad SAW.1 Adapun jumlah ayat, terdapat perbedaan pendapat para Ulama’
maupun mufassir. Muhammad ‘Abd al-‘Azhim azZarqani dalam kitabnya Manahil
al-‘Irfan fi ‘Ulum alQur’an menyebutkan bahwa para penghitung jumlah ayatayat
al-Qur’an sepakat pada angka 6200, tetapi berbeda pada puluhan dan satuannya.
Menurut hitungan Ulama Madinah 6217 ayat, demikian pendapat Nafi’.
2. Ayat-Ayat Yang Pertama dan Terakhir Turun
Al-Qur’an diturunkan pada
dua tempat, yaitu di Makkah dan di Madinah. Adapun ayat-ayat yang pertama turun
adalah 5 ayat dari Surat Al-‘Alaq
Ada yang berpendapat
bahwa yang turun pertama adalah Ya ayyuhal muddassir dan ada juga yang berpendapat
yang turun pertama adalah Surat Al-Fathihah, tetapi yang terkuat adalah lima
ayat dari Surat al-‘Alaq. Az-Zarkasyi menyebutkan dalam kitabnya al-Burhan,
hadits Aisyah yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun adalah Iqra’ bismi
rabbikalladzi khalaq.
3. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara
Bertahap
·
Untuk
meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW atas hinaan dan hujatan kafir Quraisy yang
menentang,
·
Tantangan
dan Mukjizat, Nabi sering mendapatkan pertanyaan yang memojokkan Nabi seperti
pertanyaan tentang hal-hal ghaib, Nabi merasa terbantu.
·
Mempermudah
penghapalan dan pengamalannya, sekiranya Al-Qur’an diturunkan sekaligus, akan
lebih sukar dalam penghapala, pemahaman dan pengamalannya.
·
Untuk
menerapkan hukum secara bertahap sesuai dengan kondisi dan situasi pada saat
itu.
Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an bukan
rekayasa Nabi Muhammad, meskipun rangkaian ayat-ayatnya turun selama 22 tahun 2
bulan 22 hari (lebih kurang 23 tahun).
4. Perbedaan antara Al-Qur’an dengan Hadits
Qudsi
·
Lafaz,
dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sedangkan hadits qudsi hanya maknanya
yang berasal dari Allah SWT
·
Al-Qur’an
mengandung mukjizat, sedangkan hadits tidak.
·
AL-Qur’an
tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang-orang yang berhadas,
sedangkan hadits qudsi boleh dipegang dan dibaca oleh orang-orang berhadas.
·
Periwayatan
Al-Qur’an tidak boleh hanya dengan maknanya saja, sedangkan hadits qudsi boleh
diriwayatkan hanya dengan maknanya saja.
·
Al-Qur’an
harus dibaca di waktu shalat, sedangkan hadits qudsi tidak boleh dibaca di
waktu shalat.
·
Semua
ayat Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir, sedangkan hadits qudsi tidak
semua diriwayatkan secara mutawatir, tetapi maknanya berasal dari Allah Swt.
·
Al-Qur’an
adalah wahyu yang besar, dibuktikan dengan turunnya malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW dalam keadaan sadar. Sedangkan hadits Qudsi biasanya lewat ilham
dan mimpi, yang kadar turunnya kadang merupakan wahyu yang besar dan ringan.
·
Al-Qur’an
disebut kumpulan ayat dan surat, sedangkan hadits qudsi tidak disepakati adanya
ayat dan surat.
·
Al-Qur’an
mengkafirkan orang yang membantah apa yang ada padanya. Sedangkan hadits qudsi
tidak membuat kafir orang yang membantahnya, kecuali yang mutawatir.
5. Ayat-Ayat Makkiyah dan Ayat-ayat Madaniyah
Para ulama berbeda pendapat mengenai
yang dimaksud dengan makkiyah dan madaniyah, serta mengenai mengapa sebuah
surat dan ayat disebut demikian. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah itu
makiyah atau madaniyah paling tidak harus dilihat dari dua pandangan, yaitu: pandangan
adanya dhawabith dan Mumayyizat, seperti pada surat-surat madaniyah. Yang
dimaksud dengan dhawabith adalah karakter-karakter lafal. Sedangkan, mumayyizat
adalah karakter-karakter gaya bahasa, makna-makna dan tujuan surat-surat
makkiyah dan madaniyah. Diantara dhawabith atau kekhususan yang terdapat pada
surat-surat makkiyah adalah
·
Setiap
surat yang didalamnya terdapat kalimat “kalla” adalah makkiyah. Kalimat “kalla”
disebut 33 kali dalam 15 surat. Hikmah “kalla” yang demikian itu untuk menahan
dan melarang orang yang sombong dan keras kepala. Demikian itu cocok digunakan
untuk berbicara kepada kaum musyrikin di Makkah.
·
Setiap
surat yang didalamnya terdapat ayat-ayat sajdah, adalah makkiyah. Ada 14 surat,
antara lain yakni al-A’raf, ar-Ra’d, an-Nahl, al-Isra’, Maryam, dan al-Hajj.
·
Setiap
surat yang dimulai dengan qasam atau sumpah ada 15 surat, antara lain:
ash-Shaffat, adz-Dzariyat, athThuur, an-Najm, al-Mursalat, al-Buruj,
ath-Thariq, alFajr, al-Adiyat, dan al-Ashr.
·
Setiap
surat yang dibuka dengan huruf huruf hijaiyyah, seperti “alif-lam-mim” dan
“haa-mim” dan lain-lain.
·
Setiap
surat yang memuat “Ya ayyuhan-naas”, serta tidak memuat “Ya ayyuhal-ladzina
amanu”, kecuali pada surat al-Hajj, yang diakhir surat memuatnya, namun ia
tetap makkiyah.
6. Keistimewaan Surat-Surat Makkiyah
·
Diantara
keistimewaan-keistimewaan surat Makkiyah, dapat dikemukakan:
·
Pembekalan
aqidah Islam dalam jiwa memalui ajakan beribadah kepada Allah Yang Esa, beriman
kepada risalah Muhammad SAW dan kepada hari Akhir.
·
Penetapan
dasar-dasar ibadah dan muammalah dan etika keutamaan-keutamaan umum.
·
Perhatian
terhadap rincian kisah-kisah para Nabi dan ummat-ummat terdahulu, menjelaskan
tentang ajakan para Nabi yang berupa aqidah dan sikap-sikap ummat mereka
terhadap azab-azab yang di bumi.
·
Surat-surat
dan ayat-ayat yang dibarengi dengan kuatnya pilihan diksi dan peristiwa (yang
dihadirkan kiamat).
7.
Ciri-Ciri
Surat Madaniyah
·
Setiap
surat yang didalamnya terdapat kalimat “Ya ayyuhalladzina amanu” dan tidak
terdapat kalimat “ya ayyuhannas”. Suyuthi berkata: “Dari Alqamah, dari Abdullah
bin Mas’ud: “Ya ayyuhal-ladzina amanu” diturunkan di Madinah. Sedangkan yang
memuat “ya ayyuhan-nas” diturunkan di Makkah"
·
Setiap
surat yang didalamnya menyinggung mengenai orang-orang munafiq. Makki bin Abu
Thalib Alqaisy berkata: “Setiap surat yang didalamnya disebut mengenai
orang-orang munafiq adalah madaniyyah”. Yang lain menambahkan, pengecualian,
yakni pada surat al-Ankabut.
·
Setiap
surat yang memuat batasan hukuman atau penjelasan mengenai kewajiban. Urwah bin
Az-Zubair berkata, “Ayat-ayat yang mengandung hukuman (hadd) atau kewajiban
(faridhah), sesungguhnya diturunkan di Madinah”.
8.
Keistimewaan
Surat Madaniyah
·
Al-Qur’an
berbicara kepada masyarakat Islam Madinah, pada umumnya berisi tentang
penetapan hukum-hukum syariah, ibadah dan muamalah, sanksi-sanksi,
kewajibankewajiban, hukum jihad, dan lain-lain.
·
Didalam
masyarakat Madinah tumbuh sekelompok orang munafiq, lalu Al-Qur’an membicarakan
sifat-sifat mereka dan menguak rahasia mereka. Al-Qur’an menjelaskan bahaya
mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin serta membeberkan media-media,
tipuantipuan, serta strategi mereka untuk memperdaya kaum Muslimin.
·
Diantara
orang-orang Islam di Madinah, hiduplah sekelompok ahli kitab bangsa Yahudi.
Mereka selalu melakukan perbuatan licik, memperdaya Islam dan pemeluknya. Maka
Al-Qur’an di Madinah membeberkan rahasia-rahasia mereka dan membatalkan
keyakinankeyakinan mereka.
·
Pada
umumnya, ayat-ayat dan surat-suratnya panjang dan untuk menggambarkan luasnya
aqidah dan hukum-hukum Islam.
Bab
III
Sejarah
Singkat Pengumpulan Al-Qur’an
Pengumpulan
Al-Qur’an pada garis besarnya dibagi dalam tiga bagian. Pertama, pada zaman
Nabi Muhammad SAW. Kedua pada zaman Abu Bakar Shiddiq dan ketiga, pada zaman
Usman bin Affan. Autentisitas atau keaslian Al-Qur’an akan tetap terjaga dari
berbagai upaya pikiran dan politik manusia-manusia kotor dari zaman ke zaman
yang ingin merubah, memalsukan bahkan melenyapkan Al-Qur’an dari muka bumi ini,
karena sudah menjadi janji dan jaminan Allah SWT yang akan tetap menjaga
autentisitas Al-Qur’an, Allah menjamin autentisitas Al-Qur’an paling tidak dilatarbelakangi
oleh dua faktor. Pertama, karena Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk hidup
bagi manusia selama dunia ini belum fana. Kedua, selalu ada upaya manusia dari
zaman ke zaman untuk memalsukan bahkan memusnahkan.
Allah
menjamin autentisitas Al-Qur’an paling tidak dilatarbelakangi oleh dua faktor.
Pertama, karena Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk hidup bagi manusia selama
dunia ini belum fana. Kedua, selalu ada upaya manusia dari zaman ke zaman untuk
memalsukan bahkan memusnahkan.
1. Pengumpulan Al-Qur’an pada Zaman
Rasulullah
Sejak pertama turunnya Al-Qur’an, Nabi
Muhammad SAW dimudahkan untuk langsung menghafal dan membaca ayat-ayat yang
diwahyukan oleh Allah kepada beliau, walaupun dikenal bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah seorang yang ummy.
Para
sahabat berlomba-lomba menghafal ayat-ayat yang diturunkan. Mereka saling
membantu dan berbagi hafalan. Sehingga jumlah mereka yang hafal Al-Qur’an
sangat banyak.
Sebelum
wafat, Nabi telah mencocokkan Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada beliau
dengan Qur’an yang dihafal para hafizh, surat-demi surat, ayat demi ayat. Maka
Al-Qur’an yang dihafal para hafizh itu merupakan duplikat Al-Qur’an yang
dihafal Rasul.
Mengapa
pada zaman Nabi Muhammad SAW AlQur’an tidak dihimpun dalam satu mushaf? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, Az-Zarqani mengemukakan beberapa beberapa alasan:
·
Umat
Islam belum membutuhkannya karena para qurra’ banyak, hafalan lebih diutamakan
daripada tulisan, alat tulis-menulis sangat terbatas, dan yang lebih penting
lagi, Rasul masih hidup sebagai rujukan utama.
·
Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun, dan masih
mungkin ada ayat-ayat yang akan di-shakh oleh Allah SWT.
·
Susunan
ayat-ayat dan suratsurat Al-Qur’an tidaklah berdasarkan kronologis turunnya
2. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
AshShiddiq
Pada
masa Abu Bakar Ash-Shiddiq pengumpulan AlQur’an dalam sebuah mushaf
dilatarbelakangi oleh adanya kehawatiran Umar ibn Khathab, mengingat bahwa
dalam perang Yamamah yang terjadi pada tahun 12 Hijrah telah mengakibatkan
gugurnya 70 (tujuh puluh) qari’, lama-lama biasa habis para sahabat yang hafal
Al-Qur’an.
Setelah
Abu Bakar sepakat dengan usul Umar ibn Khattab, kemudian Abu Bakar memilih
orang yang paling tepat untuk melaksanakan tugas suci tersebut adalah Zaid ibn
Tsabit, dan Umar juga menyetujui pilihan Abu Bakar, karena Zaid ibn Tsabit:
·
Termasuk
barisan huffazh Al-Qur’an dan sekaligus salah seorang penulis wahyu yang
ditunjuk Nabi SAW, apalagi dia menyaksikan tahap-tahap akhir Al-Qur’an diturunkan
kepada Rasul SAW.
·
Terkenal
cerdas, sangat wara’ , amanah dan istiqamah. Seperti halnya Abu Bakar, semula
Zaid juga ragu-ragu menerima tugas tersebut, tetapi setelah diyakinkan oleh Abu
Bakar, akhirnya dia bersedia melaksanakannya di bawah bimbingan Abu Bakar, Umar
dan para sahabat senior lainnya.
3. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Utsman ibn
Affan
Fokus
dan latarbelakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman ibn Affan
berbeda dengan fokus dan latarbelakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu
Bakar, pengumpulan pada masa Abu Bakar difokuskan pada pemindahan semua tulisan
atau catatan Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang
belulang, tembikar dan pelapah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf
dan dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran bahwa AlQur’an akan hilang lenyap
seiring dengan banyaknya para penghapal Qur’an yang gugur di medan perang.
Sedangkan pengumpulan pada masa Khalifah Utsman difokuskan pada penyamaan
dialek, mushaf ditulis dengan satu huruf (dialek), agar orang bersatu dalam
satu qiraat. Adapun pengumpulan pada masa Utsman dilatarbelakangi oleh
banyaknya perbedaan hal qiraat (dalam cara membaca Qur’an), sehingga mereka
bebas membacanya menurut logat mereka masing-masing dan ini menyebabkan timbulnya
sikap saling menyalahkan. Perbedaan tersebut terjadi di saat Khilafah Islamiyah
semakin meluas ke utara dan Afrika utara. Umat Islam di masing-masing propinsi
waktu itu mengikuti qiraah sahabat yang berbeda-beda. Misalnya umat Islam di
Syam Mengikuti qiraah Ubayya ibn Ka’ab, umat Islam di Kufah mengikuti qiraah
Abdullah ibn Mas’ud dan wilayah lain mengikuti qiraah Abu Musa Al-Asy’ari.
Perbedaan qiro'ah seperti itu menjadi masalah bagi sebagian umat Islam.
Perbedaan pendapat yang terjadi tentang qiraah antara umat Islam dari Irak
dengan umat Islam dari Syam waktu perang Armenia dilaporkan oleh Hudzaifah ibn
al-Yaman kepada Khalifah Utsman. Kalau tidak segera diatasi, dikhawatirkan pada
masa yang akan datang akan menimbulkan fitnah dan malapetaka besar bagi umat
Islam. Ternyata memang Utsman khawatir, kehawatiran ‘Utsman dapat dibaca jelas
dalam pidatonya waktu itu: “Anda semua yang dekat denganku berbeda pendapat,
apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih
berbeda lagi”. (HR Abu Daud). Utsman segera mengambil langkah antisipatif
dengan membentuk sebuah tim penulisan kembali Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf
dengan acuan utama mushaf Abu Bakar. Utsman meminjam mushaf yang disimpan
Hafsah, selanjutnya menyerahkannya kepad Tim yang terdiri dari empat orang
sahabat terbaik dan terpercaya untuk melaksanakan tugas suci tersebut. Ketua
tim Zaid ibn Tsabit, anggota Abdullah ibn Zubair, Sa’ad ibn Ash dan Abdurrahman
ibn Harits ibn Hisyam. Tiga anggota berasal dari suku Quraisy, berbeda dengan
Zaid yang dari Madinah. Komposisi tiga orang dari Quraisy itu diperlukan dalam
memenangkan logat atau dialek Quraisy apabila terjadi perbedaan pendapat antara
anggota tim dengan Zaid. Utsman memang memberi petunjuk seperti itu, apabila
terjadi perbedaan pendapat dengan Zaid, maka tulislah dengan logat Quraisy,
karena Al-Qur’an diturunkan dalam logat mereka dan tim tetap bekerja di bawah
arahan Utsman. Sistem penulisan inilah kemudian dikenal dengan sebutan
ar-Rasmul-Usmani.
Para
ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dibuat dan yang dikirimkan ke
berbagai daerah:
·
Ada
yang mengatakan jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirim ke Makah, Syam,
Basrah, Kufah, Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: “Aku
mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: "Telah ditulis tujuh buah
mushaf, lalu dikirim ke Makah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah dan sebuah
ditahan di Madinah.”
·
Ada
yang mengatakan jumlahnya ada empat buah, masingmasing dikirim ke Irak, Syam,
Mesir, dan mushaf Imam, atau dikirim ke Kufah, Basrah, Syam dan mushaf Imam.
Ada juga yang berpendapat bahwa Utsman menulis empat buah salinan, dan ia
kirimkan ke setiap daerah masing- masing satu buah: ke Kufah, Basrah, Syam dan
ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.
·
Ada
juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat
inilah yang mashur.
·
Ibrahim
Al-Ibyariy dalam kitabnya berjudul Tarikhul Qur’an (alih bahasa Saad Abdul
Wahid), menegaskan bahwa yang dibuat Usman enam buah mushaf, dikirimkan ke
Makkah, Syria, Bahrain, Bashrah, Kufah dan yang satu disimpan di Madinah.
Kemudian Utsman memerintahkan agar semua mushaf yang berbeda dengan mushaf
Utsman dimusnahkan.
Bab IV
Asbab al-Nuzul
1. Pengertian Asbab al-Nuzul
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk hidup
manusia dalam menghadapi situasi dan berbagai dimensi permasalah. Ayat-ayat
Al-Qur’an diturunkan dalam waktu dan keadaan yang berbeda-beda. Kata asbab
jamak dari sabab berarti alasan-alasan atau sebab-sebab. Asbab al-nuzul berarti
pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat. Menurut al-Zarqani,
asbab al-nuzul adalah “suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau
beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum
berkenaan turunnya suatu ayat". Pendapat yang hampir sama dikemukakan
Shubhi al-Shalih: “Sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat
yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa
terjadinya sebab itu.” Dengan demikian unsur-unsur yang tidak boleh diabaikan
dalam analisa asbab al-nuzul, yaitu adanya suatu kasus atau peristiwa, adanya
pelaku peristiwa, adanya tempat peristiwa, dan adanya waktu peristiwa. Kualitas
peristiwa, pelaku, tempat dan waktu perlu diidentifikasi dengan cermat guna
menerapkan ayat-ayat itu pada kasus lain di tempat dan waktu yang berbeda.
2. Fungsi Memahami Asbab al-Nuzul Adapun
fungsi memahami asbab al-nuzul antara lain:
·
Mengetahui
hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap
kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama.
·
Mengetahui
asbab al-nuzul membantu memberikan kejelasan terhadap beberapa ayat. Misalnya
Urwah bin Zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardhu sa’i antara
Shafa dan Marwah.
·
Pengetahuan
asbab al-nuzul dapat mengkhususkan (takhsis) hukum terbatas pada sebab,
terutama ulama yang menganut kaidah “sabab khusus”.
·
Yang
paling penting ialah, asbab al-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat
berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu
diperankan. Maksud yang sesungguhnya suatu ayat dapat difahami melalui
pengenalan asbab al-nuzul.
3. Cara-cara Mengetahui Asbab al-Nuzul Asbab
al-Nuzul diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang atau
diterima. Riwayat yang dapat dipegang ialah riwayatriwayat yang memenuhi
syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan para ahli hadits. Secara khusus
dari riwayat asbab al-nuzul ialah riwayat dari orang yang terlibat dan
mengalami peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu itu
diturunkan). Riwayat yang berasal dari tabi’in yang tidak merujuk kepada
Rasulullah dan para sahabatnya, dianggap lemah (dha’if). Sebab itu, seseorang
tidak dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis. Karena itu kita
harus mempunyai pengetahuan tentang siapa yang meriwayatkan peristiwa tersebut,
dan apakah waktu itu ia memang sunguh-sungguh menyaksikan dan kemudian siap
yang menyampaikannya kepada kita.
4. Jenis-jenis Asbab al-Nuzul Mengenai
jenis-jenis asbab al-nuzul dapat dikatagorikan kedalam beberapa bentuk sebagai
berikut:
·
Sebagai
tanggapan atas suatu peristiwa umum. Bentuk sebab turunnya ayat sebagai
tanggapan terhadap suatu peristiwa, misalnya riwayat Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah pernah ke Al-Bathha, dan ketika turun dari gunung beliau berseru:
“Wahai para sahabat, berkumpullah”. Ketika melihat orang-orang Quraiys yang
juga ikut mengelilingi, maka beliaupun bersabda: “Apakah engkau akan percaya,
apabila aku katakan bahwa musuh tengah mengancam dari balik punggung gunung,
dan mereka bersiap-siap menyerang, entah di pagi hari ataupun di petang hari”
·
Sebagai
tanggapan atas peristiwa khusus. Contoh sebab turunnya ayat sebagai tanggapan
atas suatu peristiwa khusus ialah turunnya surah Al-Baqarah ayat 158,
sebagaimana telah diuraikan terdahulu.
·
Sebagai
jawaban terhadap pertanyaan kepada Nabi. Asbab al-nuzul lainnya ada dalam
bentuk pertanyaan kepada Rasulullah, seperti turunnya Firman Allah: "Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa’/4: 11).
·
Sebagai
jawaban dari pertanyaan Nabi Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah
bertanya kepada kepada Malaikat Jibril, “Apa yang menghalangi kehadiranmu,
sehingga lebih jarang muncul ketimbang masa-masa sebelumnya ?” Maka turunlah
ayat di bawah ini sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi kepada Malaikat Jibril:
“Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu.
Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di
belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu
lupa.” (QS. Maryam/19: 64).
·
Sebagai
tanggapan atas pertanyaan yang bersifat umum. Kadang para sahabat mengajukan
pertanyaan yang bersifat umum kepada Nabi. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Tsabit dari Anas bahwa di kalangan Yahudi, apabila wanita mereka sedang haid,
mereka tidak makan bersama wanita tersebut, atau juga tidak tinggal serumah.
orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah/2: 222).
·
Sebagai
tanggapan terhadap orang-orang tertentu Adakalanya ayat-ayat Al-Qur’an turun
untuk menanggapi keadaan tertentu atau orang-orang tertentu, seperti turunnya
ayat di bawah ini: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. jika
kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban
yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di
tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa
atau bersedekah atau berkorban.” (QS. Al-Baqarah/2: 196).
·
Beberapa
sebab tapi satu wahyu Terkadang wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa
atau sebab, misalnya turunnya QS. Al-Ikhlas/ 112: 1-4. “Katakanlah: “Dia-lah
Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.”
·
Beberapa
wahyu tetapi satu sebab Ada lagi beberapa ayat yang diturunkan untuk menanggapi
satu peristiwa, misalnya ayat-ayat diturunkan untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan Ummu Salamah, yaitu mengapa hanya lelaki saja yang disebut dalam
al-Qur’an, yang diberi ganjaran. Menurut alHakim dan Tarmizi, pertanyaan itu
menyebabkan turunnya tiga ayat di bawah ini. “Maka Tuhan mereka memperkenankan
permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah
pada sisiNya pahala yang baik.” (QS. Ali Imran/3:195).
Bab
V
I’jaz Al-Qur’an
1. Kemukjizatan Al-Qur'an
I'jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an merupakan
subsistem dari ‘Ulumul Qur’an yang harus difahami untuk memperkaya pemahaman
terhadap Al-Qur’an. Pembahasan tentang kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain mengutamanya
adalah untuk mengalahkan tukang-tukang sihir tersebut. (QS.7: 103-126, 26:
30-51, 20: 57-73). Zaman Nabi Muhammad adalah zaman keemasan kesusastraan Arab,
maka mukjizat utamanya adalah AlQur’an, kitab suci yang ayat-ayatnya mengandung
nilai sastra yang amat tinggi, sehingga tidak ada seorang manusiapun yang dapat
membuat serupa dengan Al-Qur’an (QS. 2: 23, QS. 17: 88). Semua mukjizat para
Nabi dan Rasul terdahulu dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya hanya
diperlihatkan pada umat tertentu dan pada masa tertentu. Sedangkan mukjizat
Al-Qur’an bersifat universal dan abadi, yakni berlaku untuk semua umat manusia
sampai akhir zaman.
A. Syarat-Syarat Mukjizat Menurut para
mufassir paling tidak ada lima syarat mukjizat.
·
Mukjizat
harus berupa sesuatu yang tidak disanggupi oleh selain Allah SWT.
·
Tidak
sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam. Penulis sendiri tidak
sependapat dengan dua kata terakhir, karena menurut penulis tidak ada hukum
alam, tetapi alam seharusnya tunduk kepada hukum Allah. Menurut penulis, yang
tepat adalah “berlawanan dengan sunnatullah”.
·
Mukjizat
harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seorang yang mengaku membawa risalah
Allah SWT sebagai bukti atas kebenaran pengakuannya.
·
Terjadi
bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat
tersebut.
·
Tidak
ada seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan
tersebut. Apabila lima sayarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidaklah disebut
mukjizat dan bukan pula sebagi dalil dari kebenaran seseorang yang mengakunya.
B. Beberapa Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad memiliki aspek-aspek
kemukjizatan sebagai berikut:
·
Susunan
bahasa yang indah, berbeda dengan setiap susunan bahasa yang ada dalam bahasa
orang-orang Arab.
·
Adanya
uslub-uslub yang aneh yang berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab.
·
Sifat
agung (luarbiasa) yang tidak mungkin bagi seorang makhluk untuk
mendatangkan/membuat hal yang seperti itu.
·
Bentuk
undang-undang yang detail lagi sempurna yang melebihi setiap undang-undang
buatan manusia.
·
Mengabarkan
hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
·
Tidak
bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya.
·
Menepati
janji dan ancaman yang dikhabarkan Al-Qur’an.
·
Adanya
ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
·
Memenuhi
segala kebutuhan manusia.
·
Berpengaruh
kepada hati pengikut dan musuh. Demikianlah aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an,
seyogyanya dapat dipahami oleh setiap orang Islam agar dapat mengambil manfaat
yang terkandung di dalamnya.
C. Macam-Macam Mukjizat Mukjizat pada garis
besarnya dapat tibagi dua yaitu:
·
Mukjizat
“Hissi”, ialah mukjizat yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga,
dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dirasa oleh lidah, yang lebih tegas
dapat dicapai oleh panca indragaja. Mukjizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan
kepada manusia biasa, yakni mereka yang tidak biasa menggunakan kecerdasan
fikirannya, yang tidak cakap pandangan mata hatinya dan yang rendah budi dan
perasaannya.
·
Mukjizat
“Ma’nawi”, ialah mukjizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan
panca indra, tetapi harus dicapai dengan kekuatan aqli dengan kecerdasan
fikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal mukjizat ini melainkan orang
yang berfikir sehat, bermata hati yang nyalang, berbudi luhur, dan yang suka
mempergunakan kecerdasan fikirannya dengan jernih serta jujur.
2. Gaya Bahasa Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai gaya
bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab, karena
adanya susunan yang indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui
mereka dalam bahasa Arab. Bahasa dan kalimat-kalimat Al-Qur’an adalah kalimat,
yang berbeda sekali dengan kalimat-kalimat di luar Al-Qur’an. Ia mampu
mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang dapat dirasakan sehingga
di dalamnya dapat dirasakan ruh dinamika.
A. Uslub-Uslub Al-Qur’an Uslub-uslub
al-Qur’an sangat indah dan menakjubkan, benar-benar membuat orang-orang Arab
maupun luar Arab kagum dan terpesona. Kehalusan bahasa, keanehan yang
menakjubkan dalam ekspresi, ciri-ciri khas balaghah baik yang abstrak maupun
yang kongkrit, dapat mengungkapkan rahasia keindahan dan kekudusan al-Qur’an.
Nabi pernah menantang orang-orang kafir untuk bertanding melawan al-Qur’an.
Ternyata mereka tidak mampu dan kebingungan. Jago-jago retorika Arab menjadi
bungkam seribu bahasa
B. Keistimewaan Uslub Al-Qur’an Uslub
Al-Qur’an yang menakjubkan mempunyai beberapa keistimewaan antara lain:
·
Kelembutan
Al-Qur’an secara lafdziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan
bahasanya.
·
Keserasian
Al-Qur’an baik untuk awam maupun kaum cendekiawan dalam arti bahwa semua dapat
merasakan keagungan dan keindahan Al-Qur’an.
·
Sesuai
dengan akal dan perasaan, Al-Qur’an memberikan doktrin pada akal dan hati,
serta merangkum kebenaran dan keindahan sekaligus.
·
Keindahan
sajian Al-Qur’an serta susunan bahasanya, seolah-olah merupakan suatu bingkai
yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan serta perhatian.
·
Keindahan
dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya, dalam
arti bahwa satu makna diungkapkan dalam beberapa lafadz dan susunan yang
bermacam-macam yang semuanya indah dan halus.
·
Al-Qur’an
mencakup dan memenuhi persyaratan antara bentuk global (ijmal) dan bentuk yang
terperinci (tafshil).
·
Dapat
dimengerti sekaligus dengan melihat segi yang tersurat (yang dikemukakan).
3. Hakikat Kemukjizatan Al-Qur’an
·
Bahasa.
Kehebatan dan ketinggian bahasa Al-Qur’an dari berbagai aspek yang menyangkut
kebahasan tidak bisa ditandingi oleh selain Allah.
·
Isi
atau kandungan Al-Qur’an. Al-Qur’an antara lain berisi tentang:
a.
Iman.
b.
Ibadah.
c.
Akhlaq.
d.
Muamalah
sekaligus sebagai sumber pemikiran sains dan teknologi.
·
Sejarah.
Sejarah secara holistik, sejarah kehidupan dunia dan akhirat, sejarah alam
semesta (ayat-ayat kauniyah) dan secara khusus sejarah manusia, baik sejarah
manusia yang istiqamah di jalan Allah maupun sejarah manusia yang menjalani
hidup di jalan yang sesat (jalan yang dimurkai Allah SWT).
·
Petunjuk
hidup manusia yang bersifat kekal, dalam artian tetap terjaga autetisitasnya
dan kebenarannya yang bersifat absolut karena pemeliharannya dijamin oleh Allah
SWT dan tetap berlaku sepanjang kehidupan manusia.
4. I’jaz Ilmi dan Pembuktian Ilmiah Yang
dimaksud dengan i’jaz ilmi menurut S.Agil Husen Al-Munawar, guru besar dalam
‘Ulum Al-Qur’an, adalah isyarat-isyarat yang rumit terhadap sebagian ilmu
pengetahuan alam telah disinggung Al-Qur’an sebelum pengetahuan itu sendiri
sanggup menemukannya. Al-Qur’an bukan buku psikologi, tentang eksak maupun
fisika, tetapi kitab hidayah dan irsyad, kitab tasyri’ dan islah. Tetapi
AlQur’an memberikan pembuktian ilmiah, yang dinukil dari kitab “Ruh al-Din
al-Islami” oleh Ustadz Afif Thabarah sebagai berikut:
·
Kesatuan
alam. Teori ilmu pengetahuan modern telah membuktikan bahwa adalah salah satu
dari sekumpulan planet yang telah memisah darinya dan membeku sehingga cocok
untuk dihuni oleh manusia. Teori ini didukung oleh adanya gunung merapi yang
memuntahkan lahar panas. Teori ini tepat sekali dengan ayat: “Dan apakah orang-orang
yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu
adalah suatu yang padu, kemudian Kami 80 pisahkan antara keduanya. Dan dari air
Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (QS. Al-Anbiya’/21: 30)
·
Terjadinya
perkawinan dalam tiap-tiap benda. Selama ini mungkin orang hanya berkeyakinan
bahwa perkawinan itu hanya terjadi bagi manusia laki-laki dan wanita, hewan
jantan dan betina. Kemudian datang ilmu pengetahuan modern dan menetapkan bahwa
perkawinan itu terjadi pula pada tumbuh-tumbuhan dan benda-benda (mati). Sampai
pada listrik sekalipun ada pasangan arus positif dan arus negatif. Demikian
pula atom, terdapat proton dan netron, yang masing-masing diistilahkan sebagai
berpasang-pasangan, laki-laki dan wanita.Penemuan ini sebenarnya telah
didahului oleh Al-Qur’an dalam banyak ayat antara lain: “Dan segala sesuatu
Kami ciptakan berpasangpasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS.
Adz-Dzariyat/51: 49).
·
Berkurangnya
oksigen. Sejak manusia mampu menjelajahi ruang angkasa dengan pesawat, maka
pengamatan dan penelitian para ilmuan telah sampai kepada kesimpulan bahwa di
angkasa oksigen itu berkurang. Manakala seorang penerbang meluncur tinggi ke
angkasa, dadanya terasa sesak dan sulit bernafas. Oleh karenanya para penerbang
harus memakai “oksigen buatan” saat mereka terbang dalam ketinggian 30.000 kaki
lebih.Penemuan ini sebenarnya telah disinggung oleh Al-Qur’an jauh sebelum
manusia melakukan penerbangan, Allah berfirman: “Barangsiapa yang Allah
menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya
untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah
ia sedang mendaki langit.” (QS. Al-An’am/6: 125).
·
Khasiat
Madu Dari hasil penelitian laboratorium USA, bahwa dalam 100 gr madu terkandung
zat glukosa 34%, fruktosa 1,9%, sukrosa 40%. Zat gula glukosa dan fruktosa ini
langsung diserap oleh usus tanpa proses lagi. Teori modern tentang madu ini
sesuai dengan ayat: “Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buahbuahan dan
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke
luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar
terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orangorang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl/16:
69).
·
Asal
Kejadian Kosmos Jean seorang ahli astronomi mengatakan bahwa alam ini pada
mulanya adalah gas yang berserakan secara teratur di angkasa luas, sedangkan
kabut-kabut atau kosmos-kosmos itu tercipta dari gas-gas tersebut yang memadat.
Ayat di bawah ini memperkuat pendapat tersebut: “Kemudian Dia menuju kepada
penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata
kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan
suka hati atau terpaksa”. keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.
(QS. Fushshilat/41: 11).
·
Penyerbukan
dengan Angin Ilmu pengetahuan modern menetapkan bahwa angin bisa memindahkan
serbuk jantan pada serbuk betina pada pohon kurma, tin dan pohon-pohon lain
yang berbuah.Hal ini telah diinformasikan dalam Al-Qur’an: “Dan Kami telah
meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan
dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah
kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr/15: 22). Masih banyak lagi ayat-ayat
tentang tumbuhtumbuhan, ayat-ayat tentang proses embriologi manusia.
Bab VI
Tafsir dan Metode Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Sebelum membahas macam-macam metode tafsir,
terlebih dahulu dibahas tentang pengertian tafsir. Kata tafsir berasal dari: .
Kata tafsir adalah bentuk masdar dari fassara-yufassiru yang mengandung
pengertian “penjelasan” dan “keterangan”. Kata tafsir berarti menerangkan
sesuatu yang masih samar serta menyingkap sesuatu yang tertutup.
A. Pengertian Tafsir Secara Etimologis
Secara etimologis, tafsir
digunakan untuk menunjukkan maksud ‘menjelaskan’, ‘mengungkapkan’, dan
‘menerangkan’ sesuatu suatu masalah yang masih kabur, samar dan belum jelas
B. Pengertian Tafsir Secara Terminologis
Adapun pengertian tafsir secara terminologis terdapat beberapa pendapat:
·
Menurut
Al-Kilbi: “Tafsir adalah mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya,
menjelaskan apa yang dikehendaki oleh nashnya atau isyarahnya atau khulashah”.
·
Menurut
Az-Zarqani: “Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang
Al-Qur’anul Karim dari segi dhalalahnya kepada yang dikehendaki oleh Allah
sekedar yang disanggupi manusia”
·
Menurut
Az-Zarkasyi “Tafsir adalah memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menerangkan maknanya, mengeluarkan hukumhukumnya dan
hikmah-hikmahnya”.
Dari tiga pengertian
terminologis tersebut dapat dirumuskan bahwa secara terminologis:
“Tafsir adalah mengkaji,
memahami, dan menjelaskan AlQur’an baik dari segi kedalaman makna, isi dan
maksud yang dikehendaki oleh Allah SWT sebatas maksimal kemampuan manusia”.
2. Metode-Metode Tafsir Selama ini diketahui
ada empat macam metode tafsir yang cukup popular di kalangan para akademisi
yang memperhatikan kajian tafsir, yaitu metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan
metode Maudhu'i.
A. Tafsir Tahlili Tafsir Tahlili adalah
mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan
surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu,
pengkajian metode ini, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju
dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat serta
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
sesudahnya. Untuk itu semua, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat,
hadis-hadis Rasulullah SAW dan diwayat dari para Shahabat dan Tabi’in. Metode
Tahlili dipergunakan oleh kebanyakan ulama’ pada masa-masa dahulu. Akan tetapi
di antara mereka ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan
panjang lebar (ithnab), ada yang dengan singkat (ijaz), dan ada pula yang
mengambil langkah pertengahan (musawah). Para ulama’ membagi wujud tafsir
al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam:
·
Tafsir
bi al-Ma’tsur Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran (penjelasan) ayat
al-Qur’an terhadap maksud ayat al-Qur’an yang lain. Termasuk dalam tafsir bi
al-ma’tsur adalah penafsiran alQur’an dengan hadits-hadits yang diriwayatkan
dari Rasulullah, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para Shahabat berdasarkan
ijtihad mereka, dan penafsiran alQur’an dengan pendapat Tabi’in. Di antara
kitab tafsir bi alma’tsur adalah kitab: Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an,
karangan Imam Ibn Jarir al-Thabary.
·
Tafsir
bi al-Ra’yi Tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an
berdasarkan pendapat atau akal. Para ulama’ menegaskan bahwa tafsir bi al-ra’yi
ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran bi al-ra’yi dapat
dilihat dari kualitas penafsirannya. Syarat-Syarat Tafsir bi Al-Ra’yi Kewajiban
yang harus ditaati oleh seorang mufassir yang berupaya mengomentari teks
Al-Qur’an, harus berhatihati benar dalam menempuh manhaj, sebelum menggunakan
ra’yu atau ijtihad, yang wajib ditaati:
Pertama:
Hendaknya ia mencari makna al-Qur’an dari redaksi al-Qur’an itu sendiri. Jika
ia tidak menemukannya di dalam sunnah Rasulullah SAW, karena sunnah adalah
pensyarah al-Qur’an. Jika ia tidak menemukannya di dalam di dalam sunnah, maka
hendaknya ia mencari dari pendapatpendapat para shahabat. Karena ia lebih
mengetahui situasi dan kondisi turunnya ayat al-Qur’an.
Kedua:
Apabila cara-cara di atas tidak dapat menafsirkan al-Qur’an dengan jelas atau
tidak sesuai dengan konteks masa kini, maka mufassir hendaknya menempuh tahapan
berikut:
a. Mula-mula memperhatikan makna-makna lafadz
yang tunggal, lalu ditinjaunya lafadz ini dari segi bahasa, sharaf, istiqaq
dengan memperhatikan makna yang dipakai di masa al-Qur’an diturunkan.
b. Memperhatikan susunan-susunan kalimat dari
segi i’raf dan balaghah dan meresapi keindahannya dengan kekuatan ilmu bayan.
c. Mendahulukan makna haqiqi atas makna
majazy. Janganlah menggunakan makna majazy, kecuali tidak menggunakan tidak
ditemukan makna hakikinya.
d. Memperhatikan asbab al-nuzul,
nasikh-mansukh, ilmu qiro’at dan kebiasaan budaya orang sekeliling Nabi, dan
sejauh mana tingkat intelektualnya dalam memahami al-Qur’an.
e. Memperhatikan tradisi historis, yang
berisi bagaimana tingkat intelektualnya dalam memahami al-Qur’an.
f.
Memperhatikan
korelasi antar ayat.
g. Memperhatikan apa yang dimaksudkan dari
siyaqul kalam.
h. Menyesuaikan tafsir dengan ilmu-ilmu yang
telah positif benarnya, sementara ini ilmu-ilmu kimia, ilmu fisika, biologi dan
kosmologi.
i.
Merenungkan
makna yang dimaksud dan hukum-hukum yang diistimbatkan dalam batas-batas
undang-undang bahasa, undang-undang syari’at, undang-undang logika dan umum.
j.
Memelihara
undang-undang tarjih diwaktu memerlukan tarjih. As-Suyuthy di dalam al-Itqan
berkata: “Segala lafadz menerima makna dua atau lebih, makna itulah saatnya
para ulama’ menjalankan ijtihadnya. Dan mereka harus memegang semata-mata pada
ijtihad. Jika salah satu dari dua makna itu lebih jelas, wajiblah makna yang
lebih jelas menjadi pegangan. Apabila kedua maknanya itu dipakai secara hakikat
lughawy dan yang lainnya hakikat syar’i, maka wajiblah mengambil makna syar’i.
Kecuali ada dalil bahwa makna yang dimaksud adalah makna menurut lughah.
·
Tafsir
Shufi Tafsir Shufi adalah penafsiran yang dilakukan oleh para shufi yang pada
umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat
difahami kecuali oleh orang-orang shufi dan yang melatih diri untuk menghayati
ajaran tasauf. Contoh kitab tafsir shufi adalah kitab: Tafsir al-Qur’an al-
‘Adzhim, karangan Imam al-Tustury.
·
Tafsir
Fiqhi Tafsir Fiqhi adalah penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh (tokoh)
suatu mazhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya.
Tafsir Fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh karangan imam-imam dari
berbagai mazhab yang berbeda. Contoh kitab tafsir fiqhi adalah kitab: Ahkam
al-Qur’an karangan al-Jasshash.
·
Tafsir
Falsafi Tafsir falsafi adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan
teori-teori filsafat. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat
ketuhanan dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam
semantik (logika). Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab: Mafatih al-Ghaib
yang dikarang oleh al-Fakhr al-Razi.
·
Tafsir
Ilmi Tafsir ilmi adalah penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam
al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul
pada masa sekarang. contoh kitab tafsir ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda,
karangan al-’Allamah Wahid al-Din Khan.
·
Tafsir
Adabi Tafsir Adabi adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan segi
balaghah al-Qur’an dan kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan
sasaransasaran yang dituju oleh al-Qur’an, mungungkapkan hukumhukum alam, dan
tantangan-tantangan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir Adabi merupakan
tafsir corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada
al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasiarahasia
al-Qur’an. Contoh kitab tafsir Adabi adalah adalah kitab tafsir al-Manar, karya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
·
Tafsir
Ijmali Tafsir Ijmali adalah penafsiran al-Qur’an dengan secara singkat dan
global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti ayat dengan
uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal
selain arti yang dikehendakinya.Dengan metode ini, kadangkala pada ayat-ayat
tertentu mufassir menunjukkan sebab turunnya ayat, peristiwa ayng dapat
menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadits Rasulullah SAW atau pendapat ulama’
yang shaleh. Dengan cara demikian, dapatlah diperoleh pengetahuan yang sempurna
dan sampailah kepada tujuannya dengan cara yang mudah, serta uraian yang
singkat dan bagus.
·
Tafsir
Maudhu’i Metode Tafsir Maudhu’i (tematik) yaitu metode yang ditempuh oleh seorang
mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara
tentang satu masalah/tema serta mengarah kepada satu pengertian dan satu
tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai
surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya. Kemudian
mufassir menentukan ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan
sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan (jika ayat-ayat itu turun karena
sebab-sebab tertentu, menguraikannya dengan sempurna, menjelaskan makna dan
tujuannya, mengkaji seluruh segi dan apa yang dapat diistimbatkan darinya, segi
i'rab-nya, unsur-unsur balaghahnya, i’jaz-nya (kemukjizatannya) dan lain-lain,
sehingga satu tema itu dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat
al-Qur’an dan oleh karenanya, tidak diperlukan ayat-ayat lain.
Langkah-langkah Penerapan
Metode Maudhu’i:
·
Memilih
tema.
·
Menghimpun
seluruh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengannya.
·
Menentukan
urutan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan asbab an-nuzul-nya.
·
Menjelaskan
munasabah (relevansi) antar ayat-ayat.
·
Membuat
sistematika kajian dalam kerangka yang sistematis dan lengkap dengan out line-nya
yang mencakup semua segi dan tema kajian.
·
Mengemukakan
hadits-hadits yang berkaitan dengan tema, lalu di-takhrij untuk diterangkan
derajat haditshadits tersebut. Dikemukakan pula atsar dari Shahabat dan
Tabi’in.
·
Merujuk
kepada kalam (ungkapan-ungkapan bahasa) Arab dan syair-syair mereka yang
berkaitan untuk menjelaskan lafadz-lafadz yang terdekat pada ayat-ayat yang
berbicara tentang tema.
·
Kajian
terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dilakukan secara maudhu’i
terhadap segala segi kandungannya, yaitu lafadz ‘amm, khash, muqayyat, mutlak
syarat, jawab, hukum-hukum fiqih, nasakh dan yang mansukh, jika ada unsur
balaghah dan i’jaz, berusaha memadukan antara ayat-ayat itu dengan ayatayat
lain yang diduga kontradektif dengannya atau dengan hadits-hadits yang tidak
sejalan dengannya atau dengan teori-teori ilmiah. Menolak kesamaran-kesamaran
yang dengan sengaja ditaburkan oleh lawan-lawan Islam, menyebutkan penjelasan
berbagai qira’ah, menerangkan makna ayat-ayat terhadap kehidupan kemasyarakatan
dan tidak menyimpang dari sasaran yang dituju oleh tema kajian.
Daftar Pustaka
Ahmad
al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Penerjemah
Samson Rahman, AKBAR Jakarta, 2003. Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Penerjemah:
Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Qur‘an Studi Kompleksitas Al-Qur’an,
Titian Ilahi Press, 1997. M. Quraish Shihab (Ketua Tim), Sejarah dan
‘UlumulQur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999. M. Quraish Shihab (Pimpinan Tim
Redaksi), Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata, Lentera Hati, Jakarta, 2007
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Lentera Antar Nusa, Jakarta,
1994. Said Agil Husin Al-Munawwar, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, CV
Toha Putra Semarang, 1994. Siti Amanah, Pengantar Tafsir/Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,
IAIN Walisongo Semarang, 1986. Daftar Pustaka Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, Mei 1997. Yunahar
Ilyas, Al-Qur'an Al-Karim: Sejarah Pengumpulan & Metodologi Penafsiran,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ulumul Qur'an, UMY, 2008
Comments
Post a Comment