resume ulumul qur'an


 BAB 1
MUKADIMAH
A.    Definisi Al-Qur’an
Istilah “Ulumul Qur’an” berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu “Ulum” dan”Al-Qur’an”. Kata “Ulum” merupakan bentuk jamak dari kata “ilm”, yang berarti “ilmu-ilmu”.
Kata “ulum” adalah bentuk jamak dari kata “ilm”. Yang berasal dari kata dasar “”alima-ya’lamu-“ilman”, yang berarti mendapatkan atau mengetahui sesuatu dengan jelas atau menjagkau sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya. Ia berasal dari akar kata dengan huruf-huruf “”ain”, “lam”, dan “mim”, yang berarti”asrun bi Al-syai’ yatamayyazu bihi “ qairihi” (keunggulan yang menjadikan sesuatu berbeda dengan yang lainnya), atau sesuatu yang jelas, sehingga sesuatu itu terlihat dan diketahui sedemikian jelas, tanpa menimbulkan sedikit pun keraguan.
Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Qur'an dari segi asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an), pengumpulan dan penerbitan Al-Qur’Madaniyah, an-nasikhwal mansukh dan sebagainya.
Al-Quran menurut ulama ushul fiqih dan ulama bahasa adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang lafaz-lafaznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas. Dengan begitu secara bahasa, Ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu (pembahasan-pembahasan) yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
B.     Perkembangan Ulumul Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan lurus. Rasulullah Muhammad SAW meyampaikan Al-Quran kepada para sahabat-sahabatnya, orang-orang Arab asli sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW.
Wahyu Allah kepada nabi-nabi-Nya adalah pengetahuan-pengetahuan yang Allah tuangkan ke dalam jiwa mereka agar mereka menyampaikan kepada manusia untuk menunjuki mereka dan memperbaiki mereka di dunia serta membahagiakan mereka di akhirat.
Penjelasan di atas menunjukan bahwa Ulumul Qur’an mulai tumbuh semenjak Rasulullah SAW. Beliau adalah mufasir awal, tetapi penafsirannya tidak ditulis (secara resmi) oleh para sahabat. Penafsirannya hanya disampaikan kepada sahabat yanglain dan tabi’in dengan periwayatan dari mulut ke mulut.
1.      Abad I dan II Hijriah
Pada masa nabi, Abu Bakar dan Umar, Ulumul Qur’an belum dibukukan. Namun, sesungguhnya pada masa ini mulai tumbuuh dan berkembang. Selanjutnya pada masa ustman, penulisan Al-Quran diseragamkan untuk menjaga persatuan umat islam. Yang dilakukan oleh Utsman merupakan rintisan bagi lahirnya ‘Ilmu Al-Rasm Al-Utsmani.
Pada masa berikutnya, Abu Al-Aswad Al-Duali meletakan dasar-dasar gramatikal Al-Quran (Qawa’id Al-Nahwiyyah) atas perintah khalifah ‘Ali Ibn Abi Thalib untuk memproteksi pelafalannya. Hal ini karena pada masa ini ekspansi kerajaan islam menyebar ke berbagai daerah dan penduduk non-Arab, sehingga semakin banyak yang memeluk agama islam.
Pada saat Nabi SAW masih hidup, setiap kali sahabat menanyakan suatu ayat mereka langsung menanyakan kepada beliau. Namun, saat Nabi telah wafat, mereka berijtihad dalam memberikan penafsiran Al-Quran. Selanjutnya, para sahabat berpencar di berbagai Negara dan mereka mempunyai murid di setiap tempat tinggal mereka yang baru. Gabungan dari tiga sumber diatas yaitu penafsiran Nabi, penafsiran sahabat, dan penafsiran tabi’in dikelompokan menjadi satu kelompok yang dinamai “Tafsir bi Al-Ma’tsur”. Masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan Ilmu Tafsir Al-Quran.
Abad ke-2 Hijriah dikenal sebagai masa pembukuan (Ashr Al-Tadwin) khususnya dalam pembukuan Hadist dengan beragam babnya. Pada masa ini juga terdapat pembukuan tafsir Al-Quran (bi Al-ma’thur) baik rujukannya dari Rasul, sahabat maupun tabi’in. Para pelopor tafsir dikenal pada masa ini adalah Yazid bin Harun Al-Salami. Setelah masa ini, beberapa ulama menulis beberapa kitab tafsir, slah satu yang terkenal hingga saat ini adalah Ibn Jarir Al-Thabariy.
Demikianlah proses tersebut berjalan. Awalnya Al-Quran didapat dengan metode “naqliyyah” dengan cara “talaqqi” dan periwayatan, berlanjut pada penulisan tafsir berdasarkan bab-bab kitab Hadist, kemudian penafsiran berdiri dengan caranya sendiri. Bermula dari tafsir bi Al-ma’tsur disusul tafsir bi Al-ra’y (logika).
2.      Abad III dan IV Hijriah
Beberapa cabang ‘Ulumul Qur’an pada abad ini mulai bertambah. Beberapa di antaranya sebagai berikut :
a.       Ilmu Asbab Al-Nuzul yang disusun oleh Ali ibn Al-Madiniy (w. 234 H)
b.      Ilmu Al-Nasikh wa Al-mansukh dan Ilmu Al-Qiraat yang disusun oleh Abu ‘Ubaid ibn Salam (w. 224 H)
c.       Ilmu Al-Makki wa Al-Madani yang disusun oleh Muhammad ibn Ayyub Al-Dhirris (w. 294 H)
d.      Ilmu Gharib Al-Qur’an yang disusun oleh Abu Bakar Al-Sijistani (w. 330 H)
Selain itu, terdapat beberapa ulama yang menyusun beberapa kitab seputar Ulumul Qur’an, sebagai berikut :
a.       Muhammad ibn Khalaf Al-Marzuban (w. 309 H) yang menyusun kitab Al-Hawi fi Ulum Al-Qur’an sebanyak 27 Juz
b.      Abu Bakar Muhammad ibn Qasim Al-Anbari (w. 328 H) yang menyusun kitab ‘Aja’ibu Ulum Quran.
c.       Abu Hasan Al-Asy’ariy (w. 324 H) yang menyusun kitab Al-Mukhtazan fi Ulum Al-Quran
d.      Abu Muhammad Al-Qassab Muhammad ibn Ali Al-Karakhi (w. n 360 H) yang menyusun kitab Nakat Al-Qur’an Al-Daallah ‘ala Al-Bayan fi Anwa’I Al-ulum wa Al-ahkam Al-Munbiah ‘an Ikhtilafi Al-Anam
e.       Muhammad ibn Ali Al-Adwafi (w. 388 H) menyusun kitab Al-Istighna fi Ulum Al-Quran sebanyak 20 jilid (Masjfuk Zuhdi, 1980: 28-29)
3.      Abad V dan VI Hijriah
Pada masa ini cabang Ulumul Qur’an semakin bertambah, terutama dengan munculnya Ilmu I’rab Al-Qur’an dan Ilmu Mubhamat Al-Qur’an. Adapun ulama yang berjasa dalam pengembangannya :
a.       Ali ibn Ibrahim bin Said Al-Hufi (w. 430 H) menyusun kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Quran yang terdiri dari 30 jilid
b.      Abu Amr Al-Dani (w. 444 H) yang menyusun kitab Al-Taysir fi Qira’at Al-Sab’I dan kitab Al-Muhkam fi Al-Nuqat
c.       Abu Al-Qasim ibn Abdirrahman Al-Suhaili (w. 581) yang menyusun kitab tentang Mubhamat Al-Quran
d.      Ibn Al-Jauzi (w. 597) menyusun kitab Funun Afnan fi Aja’ib Al-Quran dan Al-Mutjaba fi Ulum Tata’allaq bi Al-Quran (Zuhdi, 1980: 28-29)

4.      Abad VII dan VIII Hijriah
Pada masa ini Ulumul Quran mempunyai cabang baru yaitu Ilmu Majaz Al-Quran dan tersusun pula Ilmu Al-Qiraat.
a.       Ilmu Majaz Al-Quran yang dipelopori oleh Ibn Abd Salam yang terkenal dengan nama Al-Izz
b.      Ilmu Bada’I Al-Quran yang disusun oleh Ibn Abi Al-Isba
c.       Ilmu Aqsam Al-Qur’an yang disusun oleh Ibn al-Qayyim (w. 752 H)
d.      Ilmu Hujjaj Al-Quran atau Ilmu Jadal Al-Quran yang dipelopori oleh Najm Al-Din Al-Thufi (w 761 H)
e.       Ilmu Amtsal Al-Quran yang dipelopori Abu Hasan Al-Mawardi
f.        Ibnu Al-Qiraat yang disusun oleh Alamudin Al-Sakhawi (w 643 H)
Selain itu, terdapat juga beberapa ulama yang menyusun kitab-kitab seputar Ulumul Quran pada masa ini, yaitu:
a.       Badruddin Al-Zarkasyi (w. 749) yang menyusun kitab Al-Burhan fi Ulum AL-Quran
b.      Abu Syamah (w. 655 H) menyusun kitab Al-Mursyid Al-Wajiz fi ma Yata’allaq bi al-Quran
5.      Abad IX dan X Hijriah
Pada abad IX dan permulaan abad X karangan yang ditulis para ulama tentang Ulumul Quran semakin banyak. Masa ini merupakan masa produktif dalam penulisan diskursus Ulumul Quran dan merupakan puncak kesempurnaan masa penulisan.
6.      Abad XIV Hijriah
Setelah memasuki abad XIV H ini. Penulisan diskursus Ulumul Quran dengan berbagai cabang ilmunya muali berkembang kembali, anatara lain :
a.       Muhammad Abdul Adhim Al-Zarqaniy yang menyusun kitab Manahil Al-Irfan fi Ulum Al-Quran
b.      Thanthawi Al-jauhari yang mengarang kitab Al-Jawahir fi Tafsir  Al-Quran dan kitab Al-Quran wa Ulum Al-Ashriyyah
c.       Musthafa Al-Maraghi yang menyusun risalah tentang Boleh Menerjemahkan Al-Quran
d.      Sayyid Quthb yang mengarang kitab Al-Tashwir Al-Fann fi Al-Quran dan Fi Zhilal Al-Quran

C.     Tema Dan Ruang Lingkup Ulumul Quran
Pembahasan Ulumul Quran berdasarkan temanya, sebagai berikut :
Pertama, pembahasan yang bertautan dengan Nuzul Al-Quran adalah
a.       Auqat Al-Nuzul wa Mawathin Al-Nuzul
Tema ini berkenaan dengan ayat-ayat yang diturunkan di Mekah yang dinamai ayat Makkiyah, ayat-ayat yang diturunkan di kala Nabi berada dikampung yang disebut Hadlariyah, ayat-ayat yang diturunkan di dalam safar yang dinamai Safariyah, ayat-ayat yang diturunkan pada siang hari dinamai Nahriyah, ayat-ayat yang diturunkan pada malah hari yang dinamai Lailiyah.
b.      Asbabun Nuzul
Tema ini berkenaan dengan sebab-sebab turunnya Al-Quran
c.       Tarikhun Nuzul
Tema ini berkenaan dengan ayat yang mula-mula diturunkan dalam kaitan waktu, yang berulang-ulang diturunkannya, yang terakhir hukumnya dari turunnya, yang turun tidak berurutan, yang turun dalam satu kesatuan, dan lain-lain.
            Kedua, pembahasan masalah sanad. Hal ini berhubungan dengan enam macam persoalan, yakni yang mutawatir, ahad, syadz, beragam qiraat Nabi, para perawi dan huffazh, kaifiyat al-tahammul (cara penerimaan riwayat).
Ketiga, masalah bacaan (tata cara membaca), yaitu soal waqaf, ibtida’, imalah, madd, men-takhfifkan (meringankan bacaan) hamzah, idqam, dan lain-lain.
Keempat, masalah pembahasan lafaz. Hal ini terkait dengan beberapa soal, yaitu gharib, mu’rab, majaz, musytarak, mutaradif, isti’arah, dan tasyibih.
Kelima, masalah makna-makna Al-Quran yang berpautan dengan hokum seperti masalah lafaz ‘am yang tetap dalam keumumannya, ‘am yang dimaksudkan khusus, ‘am yang dikhususkan dengan sunnah, ‘am yang mengkhususkan sunnah, nash yang zhahir, mujmal, mufashshal, manthuq,  mafhum, muthlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh dan mansukh, muqaddam, muakhkhar, dan lain-lain.
Keenam, masalah makna-makna Al-Quran yang berpautan dengan lafaz, yaitu fashl dan washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr (Ash-Shiddieqy, 1997: 96-97)
Ulumul Quran terbagi menjadi dua ilmu yakni pertama Ilmu Al-Riwayah sebagai ilmu yang diperoleh melalui jalan riwayat atau naql. Artinya dengan cara menceritakan kembali atau mengutip misalnya, pengetahuan tentang macam-macam bacaan (Al-Qiraat), tempat turunnya ayat, waktu, dan sebab-sebabnya. Kedua, Ilmu Dirayah, sebagaiilmu yang diperoleh dengan jalan pembahasan dan penelitian. Misalnya pengetahuan tentang lafaz-lafaz yang gharib (asing), ayat Al-nasikh dan Al-mansukh dan lain-lain.
Ruang lingkup ulumul quran dapat dibagi menjadi tiga yaitu Dirasah Ma Fi Al-Quran, sebagai kajian yang dilakukan berkenaan dengan materi-materi seputar Al-Quran tetapi lingkupnya di luar materi dalam seperti seperti kajian mengenai Asbab Al-Nuzul, dan Living Quran, sebagai kajian mengenai penerapan dan aplikasi Al-Quran pada masyarakat.















BAB 2
Bahasa (Arab) Al-Quran
A.    Retorika Bahasa Al-Quran
Al-Jahizh menilai bahwa kajian mengenai istilah I’jaz (kemukjizatan) kaitannya dengan keluarbiasaan Al-Qur’an dari aspek bahasa, selalu bertumpu pada kekuatan retorisnya.
Mengenai ta’lif (susunan) dan nazham (struktur) Al-Quran, ia berpendapat bahwa manusia sanggup menandinginya seandainya Tuhan tidak menghalangi mereka.
Kemujizaran Al-Quran terfokus pada keindahan sastranya, kekuatan dan presisi konseptualnya begitu besar dan cukup seimbang. Al-Quran telah membantu membangkitkan dan menumbuhkan kesadaran orang arab akan kekayaan dan keindahan bahasanya.
Hal yang menandai keagungan bahasa Al-Quran adalah yang terkait dengan isi atau temanya. Tema dan topic Al-Quran mempresentasikan hal yang berbeda sama sekali dengan apa yang telah dikenal luas dalam masyarakat Arab ketika itu.  Tema tersebut menegaskan aspek inovatif lain yang digagas Al-Quran yaitu presentasi tema-tema yang mulia melalui berbagai contoh dan perumpamaan yang semuanya berujung ilustrasi dan persuasi.
B.     Kosakata Bahasa Al-Quran
Al-Quran menggunakan beberapa kosakata yang dipinjam dari bahasa bukan Arab. Bentuk peminjaman kosakata ini adalah hal baru yang digagas bahasa (Arab) Al-Quran. Diantara bahasa non-Arab yang digunakan Al-Quran adalah bahasa Ibrani, Persia, Sanskreta, dan Syria. Arti penting prakarsa Al-Quran dalam hal ini dapat dipahami melalui apa yang diyakini para intelektual muslim mengenai kemurnian bahasa Al-Quran sebagau yang seoenuhnya Arab dan semata-mata produk jazirah Arab yang terisolasi. Keengganan para intelektual muslim untuk merangkau keberadaan kosakata asing dalam Al-Quran adalah realisasi dari semangat religious mereka yng tinggi untuk memposisikan Al-Quran di atas semua kebudayaan manusia, terutama non-Arab.
Bagi kalangan generasi awal intelektual muslim, kosakata tersebut dianggap berasal dari bahasa Arab klasik yang tak lagi digunakan hingga datangnya Al-Quran, atau bahwa kata-kata tersebut telah lama dipinjam oleh bangsa Arab jauh sebelum terjadinya pewahyuan Al-Quran dan karenanya telah terintegrasi ke dalam, dan menjadi bagian dari bahasa Arab sendiri,
Perbedaan pendapat mengenai kosakata asing dalam Al-Quran sebagai pinajam langsung, atau sesuatu yang telah alam diadopsi oleh masyarakat Arab pra-Islam dan telah digunakan mereka sejak lama sebelum pewahyuan Al-Quran, faktanya bahwa Al-Quran memuat kosakata asing. Dengan mengadopsi kosakata asing tersebut, Al-Quran setidaknya melegmitimasi sebuah proses linguistic yang amat penting. Yaitu peminjaman makna leksikal. Penggunaan kata asing, misalnya, menegaskan adanya kehendak untuk membuat garis batas yang jelas Antara bahasa Arab dan non-Arab.
C.     Pengaruh Struktur dan Gaya Bahasa Al-Quran
Pengungkapan yang berpola ritmis dalam bacaan Al-Quran adalah aspek keindahan bahasa lain yang dikandungnya. Pola-pola ini merefleksikan penyusunan kata-kata secara khusus, berikut pengaturan frasa-frasanya yang indah.
Sentuhan baru Al-Quran terhadap bahasa Arab adalah bentuk narasi yang khas, yang mampu menguntai cerita panjang dengan pilihan kalimat yang ringkas, misalnya narasi singkar Nabi Yusuf dalam Qs. Yusuf (12). Narasi Al-Quran seperti ini adalah salah satu yang paling kreatif dan inovatif yang dimiliki yang ditunjukan Al-Quran dibandingkan dengan apa yang dimiliki masyarakat Arab dalam gaya naratif yang dapat dikatakan sebagai sebuah naratif sederhana, kasar, dan primitif. Meskipun dijelaskan untuk menjelaskan tema utamanya sebagai kitab suci, yaitu penyampaian pesan-pesan keagamaan, tetapi narasi dalam Al-Quran sedemikian rupa dikembangkan dan diintegrasikan sehingga menjadi karya seni, aspek inovatif Al-Quran terkait dengan narasi adalah metode yang dipilihnya dalam presentasi, yang setidaknya memuat empat teknik yang berbeda.
Demikisnlah, Al-Quran telah menjadi medium yang efektif untuk menyampaikan pesan islam, dan sebagai argument paling kokoh bagi Rasulullah SAW dalam menghadapi keraguan kaumnya yang fasih. Selanjutnya, melaui sebuah bahasa yang terjaga pada gilirannya, Al-Quran juga menguatkan pelestarian warisam religious dan kultural kearaban dan keislaman.


BAB 3
Makna dan Nama Lain Al-Quran
Menurut ahli bahasa, Al-Quran itu dimaknai sebagai bacaan, kumpulan, tampak, jelas, gamblang, dan sebagainya. Hal ini karena kitab suyci ini merupakan sumber bacaan  dan rujukan  ajaran islam, yang jelas dan komperhensif.
Sebutan Al-Quran lebih komprehensif karena bias mencakup nama-nama lain seperti Kitab (buku), Kalam (ucapan/firman), Huda (petunjuk), Syifa (obat), Furqan (pembeda), Shirath (Jalan), Nur (cahaya), Dzikr (peringatan), Mubarak (yang diberkahi), dan masih banyak lagi.
A.    Makna Al-Quran
Al-Quran adalah kalam Allah atau kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW membacanya ibadahm, susunan kata dan isinya merupakan mukjizat termaktub di dalam mushaf, dan dinukil secara mutawatir.
Predikat kalam Allah untuk Al-Quran bukan datang daru Nabi Muhammad. Apalagi dari sahabat atau dari siapapun, tetapi dari Allah. Dialah yang memberikan nama kitab suci agama islam ini Quran atau Al-Quran sejak ayat pertamanya turun yaitu QS. Al-Muzammil (73) :1
Hai orang yang berselimut (Muhammad),
Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),
(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.
atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan

Setelah ayat di atas, pemberian nama Al-Quran dikemukakan dalam berbagai surah. Jumlahnya mencapai 68 kali. Diantaranya adalah surah Al-Baqarah ayat 185, Al-Nisa ayat 82, Al-MAidah ayat 101, Al-An’am ayat 19, dan Al-A’raf ayat 204.
B.     Nama-Nama Lain Al-Quran
Al-Qadhi Abu Al-Ma’aliy ‘Aziziy bin Abdu Al-Malik seperti dikutip Al-Zarkasyi di dalam Al-Burhan (Jilid 1, hlm. 273) mengatakan bahwa Al-Quran memiliki 55 buah nama. Untuk mendukung mendukung pendapatnya ini Ibnu Abd Al-Malik menggunakan ayat Al-Quran, diantaranya Kitab (Ad-Dukhan, ayat 1 dan 2), Quran (Al-Waqi’ah ayat 77), Kalam (At-Taubah ayat 6), Nur (An-Nisaa ayat 174), Hudan (Luqman ayat 3), Rahmah (Yunus ayat 58), Furqan (Al-Furqan ayat 1), Syifa (Al-Isra ayat 82), Maw’izhah (Yunus ayat 57), Dzikra (Al-Anbiya ayat 50), Karim (Al-Waqiah ayat 77), Ali (Al-Zukruf ayat 41), Hikmah (Al-Qamar ayat 5), Hakim (Yunus ayat 1 dan 2), Muhaymin (Al-Maidah ayat 48), Mubarak (Shad ayat 29), Habl (Al-Imran ayat 103), Shirath (Al-An’am ayat 153), Al-Qayyim (Al-Kahfi ayat 1 dan 2), Fadhla (At-Thariq ayat 13).
Rahmat Allah memang sesuatu yang diharapkan oleh semua orang yang beriman, tetapi rahmat bukanlah nama kitab suci umat muslimin atau nama lain dari Al-Quran. Sebutan terasa relevan, lebih mengena untuk nama lain dari Al-Quran sebagai berikut :
1.      Al-Kitab, dinamai kitab karena ayat-ayat Al-Quran tertulis dalam bentuk kitab. Dalilnya QS. Al-Baqarah Ayat
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,
2.      Al-Furqan yang berarti pembeda. Artinya Al-Quran menjelaskan Antara yang hak dan yang batil, Antara yang benar dan yang salah, dan Antara yang baik dan yang buruk. Berdalil pada firman Allah yang berbunyi QS. Al-Furqan ayat 1
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,
3.      Al-Dzikr yang berarti peringatan karena menurut Al-Zakarsyi, Al-Quran mengandung peringatan-peringatan, nasihat-nasihat, serta informasi mengenai umat yang telah lalu yang tentu saja sebagai peringatan dan petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Ayat Al-Quran yang menunjukan di dalam Surah Al-Imran, AL-HIjr, dan An-Nahl. Misalnya : QS. Al-HIjr ayat 6
Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.
4.      Al-Mushaf, Allah menyebut suhuf untuk kitab-kitab yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as. QS. Al-A’la ayat 18
Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu,
Pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat menulis Al-Quran pada kayu, batu, kulit, dan pelepah kurma. Benda-benda yang telah ditulis dengan ayat-ayat Al-Quran disebut Suhuf. Setelah suhuf-suhuf dikumpulkan dan digabung menjadi satu, para sahabat meyebutnya Mushaf.



BAB 4
Rasulullah Menerima Wahyu
A.    Cara Turunnya Wahyu
Allah SWT berfirman di dalam Surah Asy-Syura ayat 51, yang berbunyi :
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Menurut ayat ini, untuk menyampaikan pesan-pesanNya, Allah  berkomunikasi dengan manusia dengan 3 cara. Pertama, melalui wahyu. Jika disimak dari ayat Al-Quran mengenai wahyu, akan didapat beberapa pengertian, yaitu
1.      Isyarat
Pengertian ini bisa dilihat pada surah Maryam ayat 11. Ayat tersebut mengisahkan Nabi Zakaria yang banyak menghabiskan waktunya di mihrab untuk beribadah.
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.
Kata Awha pada ayat di atas oleh para pakar Ulum al-Quran tidak diartikan memberi wahyu tetapi memberi isyarat. Tidak mungkin Nabi Zakariya memberi wahyu sebagaimana Allah SWT.
2.      Bisikan
Janggal, bahkan tidak tepat. Bila dikatakan setan memberi wahyu. Oleh karena itu, di dalam surah Al-An’am Allah menggunakan kata yuhi untuk setan berbentuk jin dan setan berbentuk manusia, QS. Al-An’am ayat 112)
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
3.      I’lam (memberi insting)
Wahyu dalam pengertian ini dapat ditemui di dalam Al-Quran surah Al-Nahl ayat 68. Allah berfirman :
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",

4.      Ilham
Di dalam surah Al-Qashash ayat 7, Allah berfirman :
Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.

Kemudian pada surah lain Allah berfirman :
sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain,
yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan,
Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,
Kata kami telah mengilhamkan dan kami memberi ilham pada terjemahan surah Al-Qashash ayat 7 dan surah At-thaha ayat 38 adalah terjemahan dari kata auhayna. Kata auhayna pada kedua ayat di atas tidaklah mungkin secara istilah diartikan kami telah memberi wahyu, karena manusia biasa seperti ibunya Musa tidak menerima wahyu.
Kedua, cara lain Allah berkomunikasi dengan manusia (menurut surah Al-Syura ayat 51) dari balik hijab. Maksudnya, Allah SWT berkomunikasi langsung kepada nabi-Nya tanpa perantara seperti yang terjadi ketika Rasulullah SAW mengalami peristiwa Isra Mi’raj.
Ketiga, dengan mengirim utusan. Cara inilah yang sering terjadi dimana Allah mengutus malaikat jibril untuk menyampaiakn wahyunya kepada para nabi.
Jadi, tidak beralasan bila dikatakan bahwa Jibril hanya menerima makna Al-Quran untuk disampaikan kepada Rasulullah SAW dan bukan kalimat-kalimatnya seperti pendapat sebagian orang. Mereka mengatakan bahwa JIbril hanya menyampaikan makna Al-Quran.
B.     Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
Mengenai ayat pertama yang turun, Al-Bukhari meriwayatkan dua buah hadist yang berbeda. Salah satunya mengatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah lima ayat pertama surah Al-‘Alaq.
Haidist riwayat Al-Bukhari yang bersumber dari ‘Aisyah ini dinyatakan shahih oleh dua tokoh hadis lain, yaitu oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya dan oleh Al-Baihaqy dalam dalilnya. Kemudian Al-Thabraniy dalam kitabnya Al-KAbir dengan sanadnya sendiri yang bersumber dari Abi Raja ‘Al-Aththardiy mengatakan “Abu Musa mengajarkan kami mengaji. Beliau menyuruh kami duduk berhalaqah (riungan). Beliau mengenakan dua baju berwarna putih.” Jika Beliau membaca surah ini :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Beliau mengatakan, “ini adalah surah pertama yang turun kepada Muhammad SAW”.
Dalam masalah ayat yang paling akhir turun, tak sedikitpun terdapat riwayat marfu’ kepada Nabi Muhammad SAW. Semua riwayat yang ada bersumber dari sahabat dan tabi’in. itulah sebabnya saat mencari tahu ayat yang paling akhir turun, terjadi kesinampangsiuran dan persilangan pendapat. Bersama ini kita turunkan beberapa riwayat, diantaranya sebagai berikut :
1.      Ayat yang paling akhir turun adalah QS. Al-Baqarah ayat 281  
Dalil yang dipegang, yaitu :
a.       Riwayat yang dikeluarkan oleh Nasa’I dari Ikhrimah, dari Ibn Abbas
b.      Riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari said bin Jubair
c.       Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij
d.      Riwayat Al-Baihaqiy dari Ibnu Abbas
2.      Ayat terakhir turun adalah QS. Al-Baqarah ayat  278)
Riwayat yang sama dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy
3.      Ayat yang terakhir turun adalah QS. Al-Baqarah ayat 282
Pendapat ini merujuk pada :
a.       Riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Said bin Al-Musayyab
b.      Riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Ubaid dari Ibnu Syihab.
Megomentari ketiga riwayat ini, Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy dan Dr. Muhammad Yusuf Al-Qasim. Ayat kalalah adalah ayat Al-Quran yang terakhir turun. Pendapat ini merujuk pada hadist mutaffaqun ‘alayhi (riwayat Al-Bukhari dan Muslim) dari Al-Bara’ bin Azib. Riwayat itu menyatakan bahwa surah yang paling akhir turun adalah Bara’ah (At-Taubah) dan akhir ayat yang turun adalah yastaftunaka (yang dikenal dengan ayat kalalah yakni ayat 176 Surah An-Nisa)
4.      Banyak yang mengatakan yang paling terakhir turun adalah ayat ini
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Syekh Muhammad Al-Khudhariy dalam kitabnya, Tarikh Al-Tasyri Al-Islami dan Syekh Abdu Al-Aziz Al-Khuli dalam kitabnya, Al-Quran Wash fuhu, Hidayatuhu, ‘Atsaru I’jazihi, termasuk yang memagang ayat 3 surah Al-Ma’idah ini sebagai ayat yang diturunkan paling akhir.
Memang beralasan karena ayat yang disebut terakhir ini berbicara mengenai penyempunaan agama. Penyempurnaan itu selalu ada di paling akhir.
BAB 5
Nuzul Al-Quran
Al-Qur’an diturunkan pada malam 17 Ramadhan dan malam 10 terakhir bulan tersebut. Selama kurun waktu hamper 23 tahun Al-Quran turun secara berangsur-angsur. Pada perkembangan selanjutnya, turunnya Al-Quran dapat dikelompokan ke dalam dua kategori. Pertama, yang terkait dengan latar belakang situasi dan kondisi masyarakat dan yang kedua terjadi sebaliknya.
Kategori pertama ialah saat terjadi peristiwa, situasi, atau masalah yang memerlukan jawaban, karena sebelumnya tak pernah terjadi. Sebagai jawabannya adalah turunnya wahyu. Inilah yang dikenal dengan asbab nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Quran), sedangkan kategori kedua sama sekali tidak diawali oleh peristiwa, situasi, atau masalah yang memerlukan jawaban, melainkan turunnya wahyu atas kehendak Allah semata.
A.    Definisi dan Waktu Nuzul Al-Qur’an
Nuzul Al-Qur’an atau di Indonesia sering ditulis Nuzulul Qur’an terdiri dari dua kata, yakni Nuzul dan Al-Quran. Kata nazala di dalam bahasa Arab berarti meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang mengatakan bahwa Al-Quran turun :
1.    Pada bulan Ramadhan
2.    Pada malam yang diberi berkah :
3.    Pada malam Al-Qadar
Menurut ayat di atas, Al-Quran turun sekaligus pada bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat malam Al-Qadar, suatu malam yang penuh berkah. Dengan demikian, bila umat islam di Indonesia misalnya memperingati malam Nuzul Al-Quran, maka nuzul (turun) yang dimaksud bukan nuzulnya Al-Quran  kepada Nabi Muhammad SAW. Karena kenyataan sejarah membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW menerima ayat-ayat Al-Quran bukan sekaligus, tetapi beliau menerimanya berangsur-angsur lebih dari 20 tahun.
Baik jibril yang menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW maupun Nabi Muhammad sendiri yang menerima kalam Allah itu sama sekali tidak mempunyai otoritas menyusun apalagi mengubahnya. Segala wewenang Allah SWT susunan kalimat berikut isi kandungan Al-Quran adalah mu’jiz artinya susunan dan tata letak huruf-huruf Al-Quran adalah mukjizat yang tak tertandingi oleh susunan kata dan huruf makhluk manapun.
Dibawah ini dikutip sebagai hikmah diturunkannya Al-Quran secara tidak sekaligus, seperti yang ditulis oleh Syekh Abd Al-Azhim Al-Zarqaniy dalam Manahil Al-Irfannya.
1.      Pemantapan dan penguatan hati Rasulullah. Untuk mendukung pernyataan ini, Al-Zaqarniy menggunakan beberapa alasan, di antaranya :
a.       Datangnya kembali wahyu Al-Quran dan malaikat yang ditulis Allah SWT kepada Rasulullah SAW merupakan kebahagiaan bagi diri Nabi Muhammad SAW
b.      Datangnya wahyu secara berangsur-angsur merupakan kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada Rasulullah untuk menghafal dan memahami ayat-ayat Al-Quran.
2.      Penahanan di dalam mendidik umat yang sedang tumbuh baik ilmu maupun amal, keuntungannya :
a.         Memudahkan umat menghafal Al-Quran
b.         Memudahkan umat memahami Al-Quran
c.         Mencabut akidah dan syariat batil secara bertahap
d.         Menanamkan akidah dan syariat yang hak secara bertahap
e.         Memantapkan dan mempersenjatai kaum Muslimin dengan senjata sabar dan yakin.
Mengenai rentang waktu Nabi Muhammad SAW menerima Al-Quran, Abd Al-Wahhab Abd Al-Majid Ghazlan dalam Mahabits fi Ulum Al-Qurannya menurunkan tiga pendapat. Pertama, bahwa Al-quran diturunkan berturut-turut selama dua puluh tahun. Kedua, bahwa Al-Quran diturunkan selama dua puluh tiga tahun. Ketiga, Nabi Muhammad SAW menerima Al-Quran selama dua puluh liam tahun.
Ketiga pendapat yang diturunkan Al-Ghazlan di ata tak satu pun menunjuk secra cermat menegnai masa ketika Rasulullah menerima Al-Quran. Sepertinya mereka memilih menggenapkan bilangan masa itu ketimbang memerincinya seperti diketahui bahwa pengangkatan Muhammad bin Abdullah yang lahir tanggal 12 Rabi’ Al-Awwal menajdi nabi dan rasul pada saat usia beliau mencapai 40 tahun, sedangkan pertama kali saat beliau menerima wahyu pada tanggak 12 Rabi’ Al-Awwal saat beliau bermimpi (ru’ya shadiqah). Enam bulan kemudian, pada tahun ini juga yakni di bulan Ramadhan, beliau menerima ayat Al-Quran yang pertama turun, sedangkan Rasulullah SAW wafat pada usia 63 tahun. Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa Rasul SAW menerima wahyu AL-Quran selama 22 tahun 6 bulan.




B.     Asbab Nuzul
Dipandang dari segi peristiwa nuzulnya, AL-Quran ada dua macam. Pertama, ayat yang diturunkan tanpa ada keterkaitannya dengan sebab tertentu, semata-mata sebagai hidayah bagi manusia. Kedua, ayat-ayat Al-Quran yang di turunkan lantaran adanya sebab atau kasus tertentu.
Para pakar ilmu-ilmu Al-Quran, misalnya Syekh Abd Al-AzhimAl-Zarqaniy dalam Manahil Al-Irfannya mendefinisikan Asbab Nuzul atau sabab Nuzul sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan turunnya ayat, atau ayat-ayat Al-Quran sebagai penjelas hokum pada saat terjadinya kasus.
Kasus yang dimaksud definisi di atas tentu saja, terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Demikian juga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Setelah terjadinya kasus tertentu atau pertanyan ternentu yang diajukan kepada Rasulullah SAWkemudian turun satu ayat atau beberapa ayat Al-Quran yang menjelaskan hokum kasus yang terjadi atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah SAW. Hakikatnya, Rasulullah hanyalah pembawa risalah. Beliau tidak memegang otoritas untuk menetapkan suatu hokum syariat. Hukum itu sendiri datang dari Allah SWT melalui wahyu yang dibawa oleh malaikat jibril.
C.   Satu Sebab Pesan Umum
Suatu pesan diperoleh dari umumnya lafaz, bukan khususnya sebab. Dalam kaitan ini, ada dua haluan ulama. Haluan pertama, yaitu haluan yang menjadi anutan Jumhur Ulama terutama pada mereka yan berkecinampung di dalam takhashshush (spesialisasi) Ushul Fiqh. Mereka memegang pendapat bahwa pelajaran atau pesan yang ditangkap dari suatu ayat sesuai dengan umunya lafaz, bukan bergantung pada khususnya sebab yang berkaitan dengan turunnya ayat itu. Untuk mendukung pendapatnya, mereka menggunakan ayat-ayat berikut :
1.        Ayat Al-Zhihar (menganggap istri sebagai ibunya). Allah berfirman : QS. Al-Mujadalah ayat 2

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Ayat ini turun sehubungan dengan peristiwa atau kasus Salamah bin Shakhr. Ada juga mengatakan sehubungan dengan kasus Aus bin Al-Shamit. Namun, hukumnya tidak berlaku sebatas Salamah dan Aus. Ketentuan larangan menganggap istri seperti ibu berlaku umum untuk semua orang.
2.        Ayat Li’an, yaitu firman Allah yang berbunyi : QS. An-Nur ayat 6-7)
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
Ayat ini turun sehubungan dengan kasus Hilal bin Umayyah yang menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma di hadapan Nabi SAW. Sekalipun ayat ini turun sehubungan dengan kasus pasangan suami istri tersebut, tetapi pesan hukumnya berlaku pula untuk semua orang yang menuduh istrinya berzina. Kepada mereka berlaku Hukum Li’an.








3.        Firman Allah yang berbunyi : QS. Al-Maidah ayat 5
Pada hari ini dihalalkan bagimu yan

g baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan seorang wanita yang mencuri pada zaman Nabi Muhammad SAW. Meskipun terjadi pada masa silam hukumnya tetap berlaku bagi semua pencuri, dimana dan kapan saja.
Haluan kedua, menyatakan bahwa pesan hanya berlaku untuk tokoh yang menjadi sebab turunnya ayat. Kalangan pakar ilmu-ilmu Al-Quran menyebutnya Al-Ibrah bi khushushi Al-sabab la bi ‘umumi Al-lafzh. Artinya, hokum yang dikandung oleh suatu ayat berlaku terbatas untuk tokoh yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
D.    Faedah Mengetahui Asbab Nuzul
Faedah-faedah diantaranya sebagai berikut :
1.    Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap ayat-ayat Al-Quran.
2.    Mengatasi keraguan terhadap ayat-ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
E.     Cara Mengetahui Asbab Nuzul
Asbab Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain mengambil sumber dari orang yang menyaksikan peristiwa tesebut.
Para ulama menempatkan studi-studi menyangkut hadis Rasulullah SAW sebagai suatu studi kesejarahan yang paling efektif dibandingkan studi sejarah manapun. Riwayat-riwayat yang menyangkut ayat Al-Quran mulai Asbab Nuzulnya, penafsirannya, dan hal-hal lainnya selalu dipelajari secara sungguh-sungguh kemudian dihafal dipelihara baik-baik dan dijaga keasliannya baik melalui hafalan maupun tulisan. Sampai kemudian pada sekitar tahun 200 H timbul ide dari Ali bin Al-Madiniy untuk membukukan Asbab Nuzul dalam karya ilmiah tersendiri yang ia beri judul Asbab Al-Nuzul.
Usaha Ali Al-Madiniy ini kemudian secara berturut-turut disusul oleh Abu Al-Mutharrif Abd Al-Rahman bin Muhammad Al-Qurthubiy dengan bukunya berjudul Al-Qishash wa Al-Asalib allati Nazala min Fajliha Al-Quran. Disusul kemudian setelah itu Abu Al-Hasan Ali bin Ahmad menulis kitab Asbab AL-Nuzul. Menyusul setelah itu, di akhir abad VI hijriah Abu Al-Faraj bin Al-Juzi menulis kitab Al-Ijab fi bayan AL-Asbab. Dan pada tahun-tahun pertama abad X Hijriah, Syekh Jalaludin Al-Suyuthiy menulis kitab Lubab Al-Nuqul fi asbab AL-Nuzul.
Selain itu, yang paling sering dijadikan rujukan di dalam masalah Asbab Nuzul adalah hadis-hadis RAsulullah SAW AL-Maghaziy (riwayat peperangan) dan sirah Rasulullah SAW.


BAB 6
Tujuh Huruf Al-Quran
Persoalam tentang Al-Quran yang diturunkan dengan “tujuh huruf” ini sulit dibantah. Menurut pakar di bidang ini, riwayat tujuh huruf dinyatakan kuat. Narasumbernya adalah para sahabat terkemuka dengan jumlah yang cukup banyak. Menurut Amir Abdul Aziz jumlahnya sekitar 40 orang.
Persilangan pendapat mengenai hakikat tujuh hruruf begitu tajam. Julah pendapatjya pun banyak, misak :
1.    Bahwa tujuh huruf yang dimaksud hadis-haids di atas akan mungkin ditangkap hakikat atau maksudnya oleh manusia. Sebabnya. Hakikat tujuh huruf itu tidak mungkin diinterprestasukan sebagai huruf huja’iyah, kalimat, atau arah. Padahal dari sgei bahasa, tidak dikenal pengertian lain, kecuali tiga makna yang diatas.
2.    Bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf itu bukan hakikat bilangan melainkan Al-tashil, Al-Taysir (kemudahan) dan Al-sa’ah (keluasan, kelapangan)
3.    Bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh qiraat.
4.    Bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tempat terjadinya perubahan, ketujuh tempat misalnya. Diantaranya yaitu
5.    Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam kalam di dalam Al-Quran yang satu saja lainnya berbeda.
6.    Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh lafaz yang berbeda tetapi mempunyai pengertian yang sama
7.    Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh istilah.
8.    Bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh logat pada tujuh kabilah Arab.
Para pakar bahasa menafsirkan tujuh kata yang dimaksud oleh Rasulullah SAW adalah hadzf, shilah, taqdim, dan ta’khir, qalb, istiarah, tikrar, kinayah, haqiqah, majaz, serta mujmal dan mufasar.
Sekadar menurunkan pilihan ulama berikut dikemukakan bahwa Al-Zarqaniy menjagokan pendapat nomor empat. Alasan penulis kitab MAnahil Al-Irfan memilih pendapat itu, karena menurutnya paling tepat untuk menafsirkan bahwa hadis-hadis mengenai Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf.



BAB 7
Makkiyah dan Madaniyah
A.    Definisi Makkiyah dan Madaniyah
Ada tiga definisi yang dikemukakan para pakar Antara lain :
1.    Makkiyah adalah ayat-ayat Al-Quran yang turun sebelum hijrah dan Madaniyah adalah ayat-ayat Al-Quran yang turun sesudah hijrah. Ta’rif ini menetapkan ayat-ayat yang turun setelah hijrah, sekalipun itu terjadi sekitar Mekah tetap diklasifisikasikan sebagai ayat Madaniyah.
2.    Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah sekalipun turunnya ayat itu setelah hijrah, dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah.
3.    Makkiyah adalah ayat-ayat khitabnya ditujukan kepada penduduk Mekah, dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang khitabnya ditujukan kepada penduduk madinah.
Ketiga definisi di atas pada dasarnya merupakan bagian dari usaha pengklafisian ayat-ayat Al-Qur’an. Kronologi turunnya ayat tertentu.
B.     Cara Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Dari segi sumbernya, Makkiyah dan Madaniyah sama saja dengan Sabab Nuzul artinya Makkiyah maupun Madaniyah hanya dapat diketahui melalui riwayat demi riwayar yang diturunkan secara estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ciri-ciri Surah Makkiyah :
1.      Terdapat kata kalla di sebagian besar atau seluruh ayatnya.
2.      Terdapat sujud tilawah di sebagian atau seluruh ayat-ayatnya.
3.      Diawali huruf tahajji seperti qaf, nun, dan ha mim.
4.       Memuat kisah Adan dan Iblis (Kecuali surah Al-Baqarah)
5.      Memuat kisah para nabi dan umat terdahulu
6.      Di dalamnya terdapat khitbah (seruan) kepada semua manusia (wahai semua manusia…)
7.      Menyeru dengan kalimat “Anak Adam”
8.      Isinya memberi penekanan pada masalah akidah
9.      Ayatnya pendek-pendek
Ciri-ciri Surah Madaniyah :
1.      Terdapat kalimat “orang-orang yang beriman: pada ayat-ayatnya
2.      Terdapat hokum-hukum faraidh, hudud, qishash, dan jihad di dalamnya
3.      Menyebut “orang-orang muanfik” (kecuali Surah AL-Ankabut)
4.      Memuat bantahan terhadap Ahlu-kitab (YAhudi dan NAsrani)
5.      Memuat hokum syara’ seperti ibadah, mu’amalah, dan Al-ahwal Al-syakhshiyah
6.      Ayatnya panjang-panjang
Pengelompokan surah-surah Al-Quran sebagai berikut /:
1.      Surah Makkiyah yang keseluruhan ayat-ayatnya Makkiyah. Misalnya, surah Al-Muddatstsir. Juga surah madaniyah yang keseluruhan ayatnya madaniyah pula. Misalnya surah Al-Imran
2.      Surah Makkiyah yang sebagian besar ayat-ayatnya Makkiyah kecuali beberapa ayat lainnya yang madaniyah. Misalnya surah Al-A’raf hamper keseluruhan ayat di dalamnya adalah makkiyah kecuali ayat 163 sampai ayat 71.
3.      Surah madaniyah yang hamper keseluruhan ayatnya madaniyah kecuali beberapa ayat. Misalnya surah Al-Hajj yang keseluruhan ayatnya Madaniyah kecuali empat ayatnya yang makkiyah,yaitu ayat 52 sampai ayat 55.
·         Surah-surah yang turun di Mekah
Imam badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zakarsy dalam kitabnya berjudul Al-Burhan fi Ulum AL-Quran menulis bahwa surah-surah yang turun dimekah berjumlah 83 buah. Angka ini berbeda dengan yang disodorkan ibnu jarih dalam Al-Fihrist. Tokoh yang disebut terakhir ini meriwayatlkan dengan sumber dari Atha dari Ibnu Abbas sebagai berikut :”surah yang turun di mekah berjumlah 85 buah dan yan turun di Madinah 28 buah.
·         Ayat-ayat yang Turun di Mekah dan HUkumnya Madaniyah
Ayat-ayat turun di Mekah dan hukumnya MAdaniyah sebagai berikut :
1.      Ayat 13 surah Al-Hujurat
2.      Ayat 3 sampai dengan 5 surah Al-Maidah
Ayat 13 surah Al-HUjurat, turun pada waktu Fathu Mekah
·         Ayat-ayat yang Turun di Madinah, dan Hukumnya Makkiyah
1.      Al-Mumtahanah
2.      Ayat 41 surah An-Nahl
3.      Awal surah Al-Taubah sampai dengan ayat 28
·         Makkiyah mirip Madaniyah
Pada pembahasan terdahulu disinggung kasus ayat 32 surah Al-Najm. Disana ada kata yang statusnya bisa jadi membingungkan banyak orang karena hamper semua ulama mendefinisikan sebagai :’Pelanggaran hokum yang mengakibatkan had”. Padahal sebelumnya Rasulullah meninggalkan mekah menuju madinah untuk berhijrah, hukuman ini belum dikenal. Ayat-ayat seperti inilah yang disebut Makkiyah mirip madaniyah.
·         Madaniyah mirip makkiyah
Ada tiga ayat madaniyah yang mirip makkiyah :
1.      Ayat 17 surah Al-Anbiya
2.      Ayat 1 surah Al-Adiyat
3.      Ayat 32 surah Al-Anfal
·         Ayat-ayat yang turun pada Malam Hari
Ada tiga buah ayat :
1.      Ayat 1 surah Al-Hajj
2.      Ayat 67 surah Al-Maidah
3.      Ayat 56 surah AL-Qashash
·         Ayat-ayat yang Turun pada Musim Dingin
1.      Aisyah menurut  catatan kitab Dirasat fi Ulum Al-Quran, pernah mengatakan bahwa ayat 11 surah Al-Nur yang sabab nuzul-nya berkaitan dengan dirinya diturunkan pada musim dingin.
2.      Ayat 9 surah Al-Ahzab
·         Ayat-ayat yang Turun di Perjalanan
1.      Ayat 281 surah Al-Baqarah
2.      Ayat 58 surah Al-Nisa
3.      Ayat 176 surah Al-Nisa
4.      Ayat 3 surah Al-Maidah\
·         Ayat-ayat yang turun Musyaya
Musyaya artinya diiringi, dikawal, dan diantar. Ada beberapa ayat Al-Quran yang ketika turun dikawal sejumlah malaikat sebagai penghormatan. Ayat-ayat atau surah-surah tersebut adalah
1.      Al-Fatihah
2.      Ayat Kursiy
3.      Surah Yunus
4.      Surah Al-An’am
5.      Ayat 45 surah Al-Zukhruf



BAB 8
Penulisan Al-Quran
A.    Tradisi Hafalan Al-Quran
Ada tiga tahap penting yang dilalui Rasulullah SAW saat menerima wahyu Al-Quran :
Pertama, tahap penghimpunan Al-Quran di benak Rasulullah SAW yakni penghafalan.
Kedua, tahap pembacaan ayat-ayat Al-Quran. Artinya jibril membacakan ayat-ayat yang baru saja ia sampaikan di hadapan Rasulullah SAW.
Ketiga, tahap penjelasan atau tahap bayan, pada tahap yang terakhir ini, Rasulullah SAW diberitahukan pengertian atau maksud ayat yang beliau terima.
Oleh karena itu, pesan Al-Quran tidak hanya untuk Rasulullah SAW melainkan untuk semua orang terutama yang bertakwa (Al-Baqarah ayat 2).
Tidak sedikit diantara para sahabat Rasulullah SAW menguasai AL-Quran. Dalam tempo yang relative singkat menurut Al-Qurthubiy di peristiwa Bi’r Ma’unah saja terdapat 70 orang hafiz yang gugur. Bila jumlah hafiz yang gugur saja sebanyak itu, dapat dibayangkan beberapa hafiz Al-Quran yang dimiliki kaum Rasulullah, menurut Al-Zarkasy berlomba-lomba menguasai Al-Quran baik bacaan maupun tulisan. Mereka tak ingin kalau sampai ada ayat Al-Quran yang tidak mereka kuasai.
Minat mempelajari Al-Quran di kalangan sahabat Rasulullah SAW demikian tingginya. Hal ini terlihat pada hadist riwayat Al-Bukhari dan Muslim, menurut riwayat itu Rasulullah bersabda: “Baca (maksudnya khatamkan)lah Al-Quran sekali dalam setiap bulan.”
Generasi sahabat, menurut Syekh Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, lebih banyak menghandalkan hafalan ketimbang tulisan. Artinya, mereka lebih suka menghafalkannya. Hal ini dapat dimengerti mengingat pada zaman ini tidak banyak orang yang mampu baca-tulis. Penggunaan alat tulis-menulis masih jaih dari popular. Selain itu, dengan menghafal ayat-ayat Al-Quran yang mereka hafal itu segera mereka pakai untuk bacaan shalat. Meskipun demikian, tidak berarti penulisan Al-Quran belum dikenal oleh generasi mereka.
B.     Penulisan Al-Quran pada Zaman Rasulullah
Untuk penulisan ayat Al-Quran rasulullah mengangkat beberapa orang sebagai juru tulis, tugas mereka adalah merekam dalam bentuk tulisan semua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.
Alat-alat yang mereka gunakan masih sangat sederhana. Para sahabat menulis Al-Quran pada ‘usub (pelepah kurma), likhaf(batu halus berwarna putih), riqa’(kulit), aktaf(tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung unta). Salah seorang juru tulis wahyu yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah yaitu Zaid bin Tsabit, menuturkan pengalamannya dalam riwayat Al-BUkhari sebagai berikut: “Dahulu kami di sisi Rasulullah menyusun Al-Quran dari riqa, aku mengumpulkanya dari riqa, aktaf, dan hafalan-hafalan orang.”
Untuk menghindari keracunan akibat bercampuraduk ayat-ayat Al-Quran dengan lainnya, Misalnya hadist. Maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apa pun selain Al-Quran.
C.     Penghimpunan Al-Quran pada Zaman Abu Bakar
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar As-Shiddiq terpilih menjadi khalifah pertama. Zaid bin stabit salah seorang juru tulis wahyu dipercaya menghimpun Kitab Suci Al-Quran. Bagi zaid, tugas yang dipercayakan kepadanya bukanlah hal yang ringan.
Kesungguhan Zaid dalam menjalankan tugas terlihat jelas yakni ketika ia mengetahui ada satu ayat yang tertinggak belum ia temukan kepastian bunyinya, ia terus melacak. Sampai akhirnya, menurut pengakuan Zaid dalam riwayat itu “HIngga aku mendapati akhir surah Al-Taubah pada Khuzaimah Al-Anshariy.”
Dari uraian di atas bahwa apa yang dihimpun oleh Zaid sekedar dari catatan-catatan tertulis yang sebetulnya sudah sejak zaman Rasulullah. Zaid juga mencocokan catatan-catatan yang ia kumpulkan itu dengan hafalan para sahabat.
D.    Penghimpunan Al-Quran pada Zaman Utsman
Penghimpunan Al-Quran pada masa Abu Bakar Al-Shiddiq bisa disebut penghimpun terpadu. Bisa juga disebut pengodifikasian AL-Quran secara resmi Karen amelibatkan berbagai unsur. Gagasan disodorkan oleh Umar. Keputusan diambil oleh kepala negara. Kemudian dilaksanakan oleh suatu tim yang di dalam pelaksanaan tugasynya melibatkan masyarakat umum. Mereka yang menyimpan tulisan ayat-ayat Al-Quran berpartisipasi dengan mushaf yang disimpannya. Sementara para haifz ikut andil dengan hafalan yang ada padanya.
Umar berpesan kepada para sahabat Rasulullah SAW lainnya: “siapa saja yang pernah mendapatkan sesuatu berupa Al-Quran dari Rasulullah SAW agar segera membawanya”. Mendengar ucapan itu, seakan-akan semua catatan ayat Al-Quran yang dimiliki oleh sahabat tertentu dapat diterima untuk kemudian dihimpun dalam bentuk mushaf. Namun, yang diterima oleh tim penghimpun Al-Quran ini hanya catatan yang mempunyai dua syahid atau dua saksi. Ketentuan dua saksi ini ditetapkan berdasarkan keputusan khalifah Abu Bakar. Dalam pesannya kepada Zaid dan Umar, Abu Bakar mengatakan, “Duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja yang dating kepada kalian membawa catatan Al-Quran dengan dua saksi, maka catatlah”.
Tokoh yang terlibat dalam penghimpunan Al-Quran ini tidak ingin mushaf-mushaf yang mereka kumpulkan itu hanya mendasari sumbernya pada hafalan semata. Oleh karena itu, ketika Zaid tidak mendapati akhiran surah Al-Taubah, ia segera melacaknya ke sna kemari sampai akhirnya oia menjumpai ayat itu pada Abu Khuzaimah Al-Anshariy.
Setelah pekerjaan tim selesai mushaf Al-Quran disimpan oleh Khalifah Abu Bakar As-Shidiq sampai beliau wafat. Setelah itu, mushaf berada di tangan khalifah umar bin Al-khaththab sampai wafatnya. Setelah umar wafat, mushaf tidak lagi langsung berada di tangan khalifah selanjutnya, yakni Utsman bin Affan tetapi disimpan oleh Hafshah istri Rasulullah yang juga putri umar bin khaththab. Alasan umar yakni karna beliau ingin memberikan kesempatan kepada enam orang sahabat untuk bermusyawarah memilih seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah seorang di Antara enam sahabat itu, ia khawatir diintrepestasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Oleh sebab itu, ia menyerahkan mushaf tu kepada Hafshah.
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa Anas bin Malik meriwayatkan cerita kedatangan Hudzaifah kepada Khalifah utsman. Ia merasa cemas melihat perselisihan kaum muslimin tentang bacaan Al-Qur’an. Mendengar itu, khalifah Utsman segera meminta mushaf yang disimpan Hafshah. Kemudian ia membentuk panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Said bin Al-Ash, dan Abd Al-Rahman bin Al-Harist untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushaf.
Apabila masa-masa dua khalifah sebelumnya, mushaf Abu Bakar hanya disimpan di rumah, maka Utsman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu. Langkah utsman memang lebih tepat dianggap memasyarakatkan mushaf Abu Bakar sekaligus menyatukan bacaan. Beberapa riwayat yang bisa dipegang mengatakan bahwa Panitia Empat berhasil menyalin enam buah mushaf, sedangkan aslinya dikembalikan kepada Hafshah. Mushaf yang kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani itu dikirim ke Mekah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, dan Kufah.
Langkah Utsman ini mendapat sambutan baik dari kaum Muslimin. Hanya Abdullah bin Mas’ud yang membantah membakar mushafnya, tetapi kemudian Ibnu Mas’ud menyadari bahwa apa yang dilakukan Utsman semata-mata untuk menyatukan kalimat dan menutup celah-celah timbulnya perpecahan.
E.     Utsman Membakar Mushaf
Melalui panitia empat yang dibentuknya, berhasil menyalin dan menggandakan mushaf. Mushaf dikirimkan ke beberapa wilayah kekuasannya. Kini tinggal satu usaha yaitu membakar mushaf lainnya. Ia khawatir kalau mushaf yang bukan salainan pantiia empat tetap beredar. Padahal mushaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan Al-Quran karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Disana terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan tafsiran, dan bukan Kalam Allah.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut :
1.      Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
2.      Mengabaikan ayat yang bacaannya di nasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3.      Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan Mushaf Abu Bakar yang susunan surahnya berbeda dengan Mushaf Utsman.
4.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qiraat yang berbeda sesuai dengan lafaz-lafaz Al-Qurab ketika turun.
5.      Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat dimana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushaf, atau penjelasan nasikh-mansukh.



BAB 9
Rasm Al-Quran dan Perkembangannya
A.    Kaidah Penulisan Al-Quran
Rasm Al-Quran atau Rasmul Quran adalah tata cara menulis Al-Quran yang ditetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertenu. Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu Al-Hadzf, Al-Ziyadah, Al-Hamzah, Al-Badal, dan Al-Fashl wa Al-Washl.
-                     Al-Hadzf
Al-Hadzf berarti membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf.
1.      Menghilangkan huruf Alif
a.    Sesudah huruf Lam
b.    Setelah dua huruf Lam
c.    Dari semua mutsanna
d.    Dari setiap jama’ tashih baik mudzakkar maupun mu’annats
e.    Dari semua jama’ yang se-wazan dengan Masajidu dan Al-nashara
f.     Dari semua kata bilangan
g.    Dari basmallah
2.      Menghilangkan huruf Ya
Huruf ya dibuang dari setiap manqush munawwan baik berharakat rafa’ maupun jar.
3.      Menghilangkan Huruf Wawu
Huruf Wawu apabilan terletak bergandengan.
4.      Menghilangkan huruf Lam
Huruf Lam dihilangkan apabila dalam keadaan idqham.
Di luar penghilangan empat huruf diatas, ada penghilangan huruf yang tidak masuk kaidah. Misalnya penghilangan (hadzf) huruf alif pada kata Maaliki dan hadzf ya’ dari kata Ibrahi(y)mu.
-                     Al-Ziyadah
Ziyadah berarti penambahan. Kata yang ditambah hurufnya dalam Rasm Utsmani adalah alif, ya, dan wawu.
1.      Menambah Huruf Alif
a.    Menambah huruf alif setelah wawu pada akhir setiap Isim Jama’ atau yang mempunyai hokum Jama’.
b.    Menambah alif setelah hamzah marsumah wawu (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu).
c.    Menambah huruf ya

-                     Kaidah Hamzah
Apabila hamzah berharakat sukun, maka ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya.
Adapun hamzah yang berharakat, jika berada di awalkata dan bersambung dengannya (dengan hamzah) huruf tambahan, mutlak harus ditulis dengan alif dalam keadaan berharakat fathah atau kasrah. Kecuali beberapa kata yang diekspresikan.
Adapun apabila hamzah terletak di tengah, maka ia ditulis sesuai dengan huruf harakatnya. Kalau fathah dengan alif, kalau kasrah dengan ya dan kalau dhammah dengan wawu. Apabila huruf yang sebelum hamzah sukun, maka tidak ada tambahan. Di luar ketentuan ini, ada beberapa kata yang diekspresikan.
-                     Badal
1.    Huruf alif ditulis dengan Wawu
2.    Huruf alif ditulis dengan Ya
3.    Huruf alif diganti dengan nun pada taukid kahfifah
4.    Huruf Ha’ ta’nits dengan huruf Ta’ Maftuhah pada kata Rahmatu dalam surah Al-Baqarah, Al-A’raf, Hud, Maryam, Al-Rum, dan Al-Zukhruf.
5.    Huruf Ha’ Ta’nits ditulis dengan Ta Maftuhah pada kata  Ni’matu yang terdapat pada surah Al-Baqarah, Ali Imran, AL-Maidah, Ibrahim, Al-Nahl, Luqman, Fathir, dan Al-Thur.
-                     Washal dan Fashal
Wahal artinya menyambung. Yang dimaksud disini adalah metode penyambungan kata (dalam bahasa Arab disebut huruf, jadi penyambungan dua huruf) yang mengakibatkan hilang atau dibuangnya huruf tertentu.
1.    Bila ‘an (dengan harakat fathah pada hamzahnya) disusul dengan La maka penulisannya bersambung dengan menghilangkan huruf nun. Misalnya Ala tidak ditulis Anla
2.    Min yang bersambung dengan mad Ma penulisannya disambung dan huruf nun pada min-nya tidak ditulis. Misalnya Mimma
3.    Kul yang diiringi Ma disambung sehingga menjadi Kullama
-                     Kata yang Bisa Dibaca Dua Bunyi
Suatu kata yang bisa (boleh) dibaca dua bunyi, penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf Utsmani penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif.
Di dalam bahasa Arab dikenal tiga metode penulisan. Pertama, penulisan Mushaf Utsmani yang baru saja disinggung secara singkat. Kedua, penulisan Aruld, yaitu ilmu alat untuk menimbang syair-syair. Pada tulisan jenis kedua ini, semua bunyi divisualisasikan dalam bentuk huruf. Ketiga, penulisan biasa. Maksudnya, tata cara menulis yang biasa dipakai sehari-hari.
B.     Babak Lanjutan Rasm Utsmani
Islam terus berkembang. Umatnya semakin banyak. Islam tidak lagi dianut oleh orang-orang Arab saja. Banyak yang bukan orang Arab yang telah masuk islam. Sejak saat itulah perkembangan dirasa menggembirakan itu ternyata juga membawa kekhawatiran yaitu terancamnya keselamatan bahasa Arab. Di kalangan masyarakat Islam sering terjadi kesalahan melafalkan Al-Quran. Hal ini terutama pada kata yang memang terbuka kemungkinan dibaca dengan salah.
Pada masa pemerintahan Abd Al-Malik bin Marwan dirasa perlu adanya pembeda huruf-huruf yang berbentuk sama. Misalnya, huruf Sin dengan Syin. Demikian juga Antara Fa dengan Qaf. Tanpa tanda pembeda memang sulit mengenal secara pasti huruf-huruf Ba, Ta, dan Tsa. Pembeda ini disebut ‘ijam.
C.     Pencetakan Al-Quran
Al-Quran cetakan pertama kali muncul di Bunduqiyah, tahun 1530 M. Namun, begitu lahir penguasa gereja mengeluarkanperintah pemusnahan kitab suci agama islam. Barulah lahir lagi cetakan selanjutnya atas usaha seorang Jerman bernama Hinkelmann pada tahun 1694 M di Hamburg. Disusul kemudian oleh Marraci yang menerbitkan lagi Al-Quran tahun 1698 di Padou. Sayangnya, tak satupun dari Al-Quran ctakan pertama, kedua, maupun ketiga, itu yang tersisa di dunia Islam.
Penerbitan Al-Quran dengan label Islam baru dimulai padatahun 1787. Yang meneritkan adalah Maulaya Utsman. Dan mushaf cetakan itu lahir di Leningard, Uni Soviet atau St. Petersburg, Rusia, sekarang lahir lagi kemudian mushaf cetakan di Kazan. Kemudian terbit lagi di Iran tahun 1248 H/!828 M, negeri  Persia menerbitkan mushaf cetakan di kota Teheran. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1833 terbit lagi mushaf cetakan di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahum kemudian (1834) terbit lagi mushaf cetakan di Leipzig, Jerman.
Di negeri Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al-Quran di perempatan pertama abad ke-20. Panitia yang dimotori oleh Para Syekh Al-Azhar itu pada tahun 1342 H/1923 M berhasil menerbitkan mushaf Al-Quran cetakan yang bagus. Mushaf yang pertama terbit di negara Arab itu, di-dlabit sesuai dengan riwayat Hafsh atas qiraat ‘Ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak, di Mesir dan di berbagai negara.
D.    Kehebatan Rasm Utsmani
Setelah mensakralkan penulisan Mushaf Utsmani dengab panjang lebar,Ibnu Mubarak mengajak  menoleh bukti keluarbiasaan Rasm Utsmani. Dengan itu, Mubarak bertanya tentang kehebatan rasm itu sambil menunjukan ketidakberdayaan akal menjangkaunya, “Bagaimana mungkin akal dapat menjangkau rahasia penambahan huruf alif pada kata mi’ah sementara untuk kata fi’ah tidak?
Setelah itu, Ibnu Al-Mubarak menunjuk lagi bukti kehebatan Rasm Utsmani yang tak terjangkau akal manusia itu. Misalnya, penambahan huruf Ya pada kata bi-ayydin dan biayyikum.
Rahasia ditambahnya huruf Ya pada kata bi-ayydin yang berarti dengan tangan oleh Zarqaniy ditafsirkan untuk membuktikan kemahahebatan kekuasaan Allah yang dengannya Dia membangun langit, bahwasannya kekuatanNya tak tertandingi kekuatan mana pun, tetapi benar sehebat itukah Rasm Utsmani?
Shubiy Shalih membantah tidaklah logis bila dikatakan Rasm Utsmani itu taufiqy. Masalahnya berbeda sekali dengan huruf tahajji misalnya alif lam mim, alif lam ra, shad, dan lainnya yang terdapat di awal beberapa surah. Karena huruf-huruf tahajji itu status Qurannya mutawatir. Namun, istilah Rasm Utsmani baru lahir pada masa khilafah Utsman. Dan menurut Shubhiy, Utsmanlah yang menyetujui penggunaan istilah itu. Jadi, bukan dating dari Nabi Muhammad SAW.








BAB 10
Sekitar Surah dan Ayat
A.    Surah
Dari segi lughawinya surah berarti manzilah atau kedudukan. Arti lainnya adalah syaraf, atau kemuliaan. Menurut definisi yang dikenal dalam hubungannya dengan Al-Quran surah adalah kelompok tersendiri dari ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai awal dan akhir,
Para ulama mengelompakan surah-surah Al-Quran yang berjumlah 114 itu menjadi empat yakni Thiwal, Mi’un, Matsani, dan Mufashshal.
1.    Al-Thiwal yaitu surah yang panjang-panjang. Kelompok surah ini ada enam surah yang disepakati, dan surah dipersoalkan. Surah-surah yang disepakati sebagai Al-Thiwal adalah Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah, Al-An’am, dan Al-A’raf. Sedangkan satu surah lainnya yang dipertentangkan status thiwal-nya adalah Al-Anfal dan Bara’ah (Al-Taubah). Kedua surah ini dianggap satu karena tidak dipisah dengan basmalah. Surah-surah ini disebut Al-Thiwal karena panjang.
2.    Al-Mi’un atau Al-Mi’in yaitu surah-surah Al-Quran yang jumlah ayatnya sekitar 100 ayat.
3.    Al-Matsani yaitu surah-surah yang ayatnya kurang dari seratus buah.
4.    Al-Mufashshal yaitu surah-surah yang lebih pendek dari Al-Matsani disebut Al-Mufashshal yang berarti terputus-putus karena seringnya terputus. Sebabnya surah itu pendek.
Di dalam menetapkan akhir surah kelompok Al-Matsani yang sekaligus berarti permulaan Al-Mufashshal mengakibatkan adanya persilangan pendapat ulama.
Jumluh ulama menurut Al-Suyuthiy adalah ijtihadi. Artinya, surah-surah Al-Quran disusun di dalam mushaf tidak berdasarkan petubjuj Rasulullah tetapi dilakukan berdasarkan pertimbangan para sahabat.
Oleh karena penyusunan surah berdasarkan ijtihad itulah, terjadi perbedaan dalam kronologis dalam kronologi mushaf-mushaf yang dimiliki beberapa sahabat Rasulullah SAW. Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah mislanya menyusun surah di dalam mushafnya berdasarkan turunnya ayat. Sementara, mushaf Abdullah bin Mas’ud susunan surah dalam mushafnya dimulai dengan Al-Baqarah, lalu AL-Nisa, AL-Nur, dan Ali Imran.
Di tengah-tengah perbedaan dua kubu terdapat aliran ketiga yang disebut aliran moderat. Mereka setuju surah Al-Quran disusun di dalam mushaf berdasarkan perintah Rasul SAW tetapi tidak semuanya. Baik surah-surah itu ditata berdasarkan ijtihad, lebih-lebih bila taufiqy, Al-Zarqaniy mengimbau umat islam untuk menghormatinya.
Beberapa hikmah dan faedah yang terdapat dalam surah Al-Quran:
1.      Mempermudah umat untuk mempelajarinya.
2.      Suatu surah menunjukan kerangka pembahasan bagi suatu permasalahan karena setiap surah membawakan tema tertentu yang ditonjolkan.
3.      Sebagai isyarat bahwa panjangnya suatu surah bukanlah merupakan syarat ijaznya ayat-ayat Al-Quran/
B.     Ayat
Di dalam Al-Quran tedapat bermacam-macam arti ayat :
Pertama, ayat berate tanda. Dalam surah Al-Baqarah ayat 248 yang berbunyi:
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.
Kedua, ayat berarti ‘ibrah atau pelajaran. Terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 164 yan berbunyi :
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Ketiga, ayat berarti mukjzat. Dalam surah Al-Baqarah ayat 211 yang berbunyi :
Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka". Dan barangsiapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.
Keempat, ayat berarti hal yang aneh. Al-Zurqaniy mengartikan kata ayat pada surah Al-Mu’minun ayat 50 menjadi Al-amru Al-Ajib yakni perkara atau hal yang aneh.
Dan telah Kami jadikan (Isa) putera Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami), dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.
Kelima, ayat berarti dalil, burhan atau bukti. Terdapat dalam surah Al-Rum ayat 22
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui
Penempatan ayat-ayat di dalam surah-surah Al-Quran berbeda dengan penempatan surah. Di dalam pembahasan penempatan ayat-ayat perselisihan tidak setajam perselisihan penyusunan surah. Dalil naqlinya pun di nilai cukup kuat. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad Tirmidzi, Abu Daud, dan Nasa’I dari Ibnu Abbas. Yang disini dijelaskan bahwa Ibnu Abbas bertanya alas an menyatukan surah Al-Anfal dengan Bara’ah (At-taubah) kepada Utsman dan ia menjawab : “Dahulu turun atas Rasulullah surah yang banyak ayatnya. Beliau, bila turun ayat-ayat ini di atasnya memanggil sebagia juru tulis. Lalu mengatakannya: “letakanlah ayatayat ini disueah yang beliau sebutkan padanya begini dan begini.” Al=Anfal termasuk surah yang pertama turun di Madinah, dan Bara’ah terbilang Al-Quran yang terakhir turun. Kisahnya (Bara’ah) miripdengan kisahnya (Al-ANfal). Maka aku mengira bahwasannya dia (Bara’ah) termasuk bagian dari Al-Anfal. Kemudian Rasulullah diambil (wafat).
Riwayat di atas dalam kalimat “Letakanlah ayat-ayat ini di  surah yang begini dan begini” sudah menunjukan bahwa Rasulullah SAW yang menyuruh para juru tulis meletakan ayatya tertentu di surah tertentu. Bukan atas kebiasaan mereka.
Riwayat di atas membuktikan bahwa peletakan ayat-ayat di dalam surah-surah Al-Quran adalah taufiqiy, yaitu sahabat tidak mempunyai pesan apa pun. Mereka meletakan ayat-ayat AL-Quran di dalam surah tertentu sesuai dengan yang mereka dengar dari Rasulullah SAW.
Panjang ayat tidak seragam. Ada yang panjang sekali dan tak jarang ada ayat Al-Quran yang pendek. Bahkan hanya satu huruf. Al-Zarqaniy melihat ada tiga faedah mengetahui ayat :
1.    Mengetahui bahwa setiap tiga ayat pendek-pendek pun mengandung mukjizat.
2.    Sebagian ulama mengatakan bahwa berhent membaca pada setiap akhir ayat adalah sunah.
3.    Di dalam khotbah ada keharusan membaca ayat secara utuh. Artinya membaca satu ayat secara keseluruhan. Tanpa pengetahuan batas-batas ayat, sulit untuk menjalankan ketentuan ini.



BAB 11
Fawatih Al-Suwar dan Khawatim Al-Suwar
Surah-surah Al-Quran terdiri yang dari 114 surah ternyata diawali dengan beberapa macam pembuka (Fawatih Al-Suwar) dan diakhiri dengan berbagai macam penutup (khawatim Al-Suwar).
A.    Fawatih Al-Suwar
Istilah fawatih adalah jamak dari kata faith yang secara lughawi berarti pembuka, sedangkan suwar adalah jamak dari kata surah sebagai sebutan dari sekumpulan ayat Al-Quran yang diberi nama tertentu. Jadi, fawatih Al-Suwar berarti pembukaan-pembukaan surah, karena posisinya berada di awal surah-surah dalam Al-Quran.
Menurut Badruddin Muhammad Al-Zakarsyi Allah SWT telah memberikan pembukaan terhadap kitabNya dengan sepuluh macam bentuk dan tidak ada satu pun yang keluar dari sepuluh macam pembukaan itu. Pertanyaan ini dikuatkan oleh Al-Qasthalani dalam penjelasan di bawah ini
1.      Pembukaan dengan pujian kepada Allah (Al-istiftah bi Al-tsama). Pujian kepada Allah ada dua macam, yaitu :
a.       Menetapkan sifat-sifat terpji dengan menggunakan hamdalah
b.      Mensucikan Allah dsri sifat-sifat negative dengan menggunakan lafal tasbih.
2.      Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-putus (Al-ahruf Al-muqatha’ah)
Pembukaan dengan huruf ini terdapat dalam 29 surah dengan memakai 14 huruf tanpa diulang.
Penggunaan surah-surah tersebut dalam pembukaan surah-surah AL-Quran disusun dalam 14 rangkaian yang terdiri atas kelompok berikut ini :
a.       Kelompok sederhana yakni pembukaan yang hana satu huruf, misalnya Shad (pada surah Shad)
b.      Kelompok yang terdiri atas dua huruf, misalnya Tha Ha (pada surah Thaha)
c.       Kelompok yang terdiri atas tiga huruf, misalnya Alif Lam Mim (Pada Al-Baqarah)
d.      Kelompok yang terdiri atas 4 huruf, , misalnya Alif Lam Mim Ra (surah Al-Rad)
e.       Kelompok yang terdiri atas 5 huruf, misalnya Kaf Ha Ya Shad (pada surah Maryam)
3.      Pembukaaan dengan panggilan (Al-Istiftah bi Al-nida)
Nida ini ada tiga macam yakni :
a.       Nida untuk Nabi
b.      Nida untuk orang-orang beriman
c.       Nida untuk orang-orang secara umum
4.      Pembukaan dengan kalimat berita (Al-istiftah bi Al-jumlah Al-khabariyah. Dalam pembukaan surah ada dua macam, yaitu:
a.       Kalimat nomina (Al-jumlah Al-ismiyah)
Kalimat ini terdapat pada 11 surah yaitu Surah Al-Taubah, Al-Nur, Al-Zumar, Muhammad, Al-Fath, Al-Rahman, Al-Haqqah, Nuh, Al-Qadr, Al-Qari’ah dan Al-Kaitsar.
b.      Kalimat verba (Al-Jumlah Al-fi’liyah)
Kalimat ini terdapat pada 12 surah, yaitu Al-Anfal, Al-Nahl, Al-Qamar, Al-Mu’minun, Al-Anbiya, Al-Mujadalah, Al-Ma’arij, Al-Qiyamah, Al-Balad, ‘Abasa, Al-Bayinah, Al-Takatsur.
5.      Pembukaan dengan sumpah (Al-Istiftah bi Al-Qasam)
6.      Pembukaan dengan syarat (Al-Istiftah bil-syarth)
7.      Pembukaan dengan kata kerja perintah (Al-Istiftah bi Al-amr)
8.      Pembukaan dengan pertanyaan (Al-istiftah bi Al-istiftham). Bentuk pertanyaan ini ada dua macam yaitu :
a.       Pertanyaan positif, yaitu pertanyaan dengan kalimat yang positif.
b.      Pertanyaan negative, yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat negative, yaitu pertanyaan dengan mengggunakan kalimat negatif.
9.      Pembukaan dengan do’a (Al-istiftah bi Al-du’a)
10.  Pembukaan dengan Alasan (Al-istiftah bi Al-ta’lil)
B.     Khawatim Al-Suwar
Istilah khawatim adalah bentuk jamak dari khatimah yang berarti penutup atau penghabisan. Menurut bahasa, khawatim Al-Suwar berarti penutup surah-surah Al-Quran. Menurut istilah, khawatim Al-Suwar adalah ungkapan yang menjadi penutup dari surah-surah Al-Quran yang memberi isyarat berakhirnya pembicaraan sehingga merangsang untuk mengethaui hal-hal yang dibicarakan sesudahnya.
Menurut seentara penelitian, ada 16 macam khawatim Al-Suwar:

1.      Penutupan dengan mengagungkan Allah (Al-ta’zhim)
2.      Penutupan dengan anjuran ibadah dan tasbih (Al-ibadah wa Al-tasbih)
3.      Penutupan dengan pujian (Al-tahmid)
4.      Penutupan dengan doa
5.      Penutupan dengan wasiat
6.      Penutupan dengan perintah dan masalah takwa
7.      Penutupan dengan masalah kewarisan
8.      Penutupan dengan janji dan ancaman (Al-wa’d wa Al-Wa’id)
9.      Penutupan dengan hiburan bagi Nabi Muhammad SAW
10.  Penutupan dengan sifat-sifat Al-Quran
11.  Penutupan dengan bantahan (AL-jadl)
12.  Penutupan dengan ketauhidan
13.  Penutupan dengan kisah
14.  Penutupan dengan anjuran jihad
15.  Penutupan dengan rincian maksud
16.  Penutupan dengan pertanyaan

C.     Aqsam (Sumpah) dalam Al-Quran
1.      Definisi Aqsam dan unsur-unsurnya
Kata aqsam adalam bentuk jamak dari qasam artinya half dan yamin yang keduanya berarti sumpah. Aqsam selanjutnya didefinisikan sebagai pengikatan jiwa (hati) melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan suatu makna yang dipandang besar dan agung baik secara haqiqi maupun secara I’tiqadi (keyakinan) oleh orang yang bersumpah itu. Aqsam Al-Quran yaitu sumpah-sumpah yang disampaikan oleh Allah SWT untuk meyakinkan kebenaran risalah yang dibawa oleh utusan-Nya Nabi Muhammad SAW.
Unsur-unsur yang membentuk qasam ada tiga yaitu
a.       Fi’I Al-Qasam
Unsur pembentuk (shighoh) asli qasam adalah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang ditransitifkan dengan huruf “ba” untuk sampai kepada Al-muqsam bih. Oleh karena itu, qasam sering digunakan dalam percakapan maka ia diringkas yaitu fi’l Al-qasam dihilangkan atau dicukupkan dengan huruf “ba”. Kemudian huruf “ba” pun diganti dengan huruf “wawu” yang sering dikenal dengan “wawu” qasam.
Dalam fawatih Al-suwar;  fi’l Al-qasam  digunakan dalam dua surah surah yang diawali dengan sumpah semuanya surah Makiyah.

b.      Al-Muqsam bih
Al-Muqsam bih adalah suatu yang digunakan untuk bersumpah, atau alat untuk bersumpah, Allah bersumpah sengan Zat-Nya yang kudus dan mempunyai sifat-sifat khusus atau dengan ayat-ayatNya yang memantapkan ekstensi dan sifat-sifatnya.
c.       Al-Muqsam ‘alaih
Al-muqsam ‘alaih adalah suatu yang kernanya sumpah diucapkan yang dinamakan dengan jawab qasam. Menurut Ibnu Qiyam (AL-Tibyan fi Aqsam Al-Quran, u:3) hakikat yang disumpahi itu ada lima hal. Yaitu:
1.      Pokok-Pokok keimanan seperti pada firman Allah SWT
2.      Kebenaran Al-Quran, seperti pada firman Allah SWT
3.      Allah bersumpah bahwa Rasul itu benar, seperti pada firman Allah SWT
4.      Allah bersumpah bahwa balasan, janji, dan ancaman itu benar akan terjadi
5.      Keadaan Manusia,
2.      Macam-macam dan Faedah Qasam
Qasam itu adakalanya zhahir (jelas/tegas) adakalanya mudhmar (tersembunyi, tersirat)
a.       Qasam Zhahir
Qasam Zhahir adalah sumpah yang di dalamnya disebutkan fi’il Al-Qasamnya, sebagaimana pada umunya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa Ba, Wawu, dan Ta.
b.      Qasam Mudhmar
Qasam Mudhmar yaitu yang di dalamnya tidak dijelaskan fi’il Al-qasam dan tidak pula AL-muqsam bih tetapi ia ditunjukan oleh “lam taukid” (lam penguat) yang masuk ke dalam jawab qasam,
Adanya Qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakan hujjah, menguatkan kabar, dan menetapkan hokum dengan cara paling sempurna.
D.    Fawatih Al-Suwar, Khawatim Al-Suwar, dan Aqsam dengan Pesan Surah
Menurut balaghah, fawatih Al-Sumar merupakan husn Al-ibtida (kebagusan permulaan). Kalimat permulaan adalah ungkapan yang pertama kali dicerna oleh pembaca? pendengar yang akan memiliki kesan dan pengarh melekat pada jiwa pemcaba/pendengar sebagai kesan pertama. Secara psikologis, penutup yang indah akan memberikan kesan yang indah yang membuat si pendengar/pembaca penasaran ingin mendengarkan ungkapan selanjutnya.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa di antara Fawatih Al-Suwar ada huruf-huruf muqatha’ah (terpisah), yaitu huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surah-surah Al-Quran seperti alif-lam-mim, alif-lam-ra, alif-lam-mim-shad, dan seagainya. Di dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan. Diantata ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyabihat da nada pula yang menafsirkannya.
Al-razi berpendapat bahwa huruf-huruf itu isyarat mengenai masa keberadaan kaum yang diterangkan dalam surah tersebut. Misalnya alif masa satu tahun, lam masa 30 tahun, dan mim masa 40 tahun.
Ada keserasian yang mendalam antara pembuka ayat setelahnya bahkan dengan penutup surah yang bersangkutan. Sebagai contoh
QS. Al-Fatihah ayat 7
 (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Ayat di atas mengandung permohonan untuk memberoleh hidayah. Dalam surah al-Baqarah Allah mengabulkan permohonan tersebut dengan membuka tiga huruf yang terpotong-potog disambung dengan ayat keduanya yang menerangkan bahwa petunjuk yang diminta itu adalah Al-Quran yang tdak diragukan lagi. Selanjutmya diterangkan berbagai aturan yang harus dijalankan. Selanjutnya Allah menuntun kita manusia sebagai makhluk lemah dengan doa di akhir surah Al-Baqarah. Doa itu berupa permohonan agar jangan diberi beban yang terlalu berat, agar dikuatkan dalam melaksanakannya, dan agar diberi pertolongan dalam mengemban tugas tertentu dari gangguan orang-orang yang tidak menyukai petunjuk Allah tehak di muka bumi ini.


BAB 12
Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah
A.    Definisi Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah
Secara etimologis kata tafsir berasal dari kata fassam yang berarti menjelaskan, menyingkap, menampakan, atau menerangkan makna yang abstrak. Kata Al-Fasr berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup.
Secara terminologis, tafsir berarti ilmu untuk menegtahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dan penjelasan maknanya serta pengambilan hokum dan makna-maknanya.
Pengertian ta’wil menurut sebgaian ulama, sama dengan tafsir. Namun, ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alas an yang dapat diterima oleh akal.
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Al-Quran yag pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah, sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang di-istimbathkan dari ayat Al-Quran berdasarkan alas an-alasan tertentu.
Sedangkan terjamah secara etimologis berarti memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam hal ini, memindahkan lafal ayat-ayat Al-Quran yang berbahasa arab ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pelaksanannya, tarjamah terbagi menjadi dua bentuk
1.      Tarjamah harfiyah?lafzhiyah, yaitu memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan cara memindahbahasakan kata demi kata, serta tetap mengikuti susunan (struktur) bahasa yang diterjemahkan.
2.      Tarjamah ma’nawiyah?tafsiriyah: sebgaian ulama ada yang membedakan adntara tarjamah ma’nawiyah dengan tarjamah tafsiriyah, sedangkan sebagian lainnya menganggap keduanya adalah sma.
B.     Macam-macam Tafsir
1.      Berdasarkan Sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi dalam dua bagian: tafsir bi Al-Ma’tsur dan Tafsir bi Al-Ra’yi.
a.       Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan bahasa Al-Quran dan/atau sunah sebbagai sumber penafsirannya. Contoh :
1)      Tafsir A-Quran Al-Azhim, karangan Abu Al-Fida Ismail bin Katsir Al-Qurasyi Al-Dimasyqi, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir.
2)      Tafsir Jami AL-Bayann fi Tafsir Al-Quran karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabary dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabariy.
3)      Tafsir Ma’alim Al-Tanzil, dikenal dengan sebutan Al-Tafsir Al-Manqul, karangan AL-Imam Al-Hafiz AL-Syahir Muhyi Al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin Al-Farra, AL-Baghway AL-Syafi’I dikenal dengan sebutan Imam Al-Baqhawy.
b.      Tafsir bi Al-ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya. Contoh:
1)      Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhr Al-din Al-Razi
2)      Al-Bahr Al-Muhith, karangan Abu Hayan Al-Andalusi Al-Gharnathi
3)      AL-Kasysyaf ‘an haqa’iq A;-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil, karangan Al-Zamakhsyari,
2.      Berdasarkan Corak Penafsirannya
Corak penafsiran yang dimaksud adalah bidang keilmuwan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufasir memiliki latar belakang keilmuwan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun meiliki corak sesuai dengan diisplin ilmu yang dikuasainya. Diantaranya sebgai berikut:
a.       Tafsir shufi?syari, corak penafsirannya Ilmu Tashawuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyaraty. Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini antara lain:
1)      Tafsir Al-Quran Al-Azhim, karya Sahl bin Abdillah AL-Tustasri. Dikenal dengan Tafsir AL-Tustary.
2)      Haqaiq Al-Tafsir karya Abu Abidarrahman Al-Silmi terkenal dengan sebutan Tafsir Al-Silmi.
3)      Al-Kasyf wa al-Bayan karya Ahmad bin Ibrahim AL-Naisaburry, terkenal dengan nama Tafsir Al-Naisabury.
b.      Tafsir fiqhi, corak penafsirannya yang lebih banya menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqih ini termasuk tafsir bi Al-Ma’tsur. Kitab-kitab tafsir yang termasuk corak ini antara lain:
1)      Ahkam Al-Quran karya Al-Jashshash yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Razi dikenal dengan nama Tafsir Al-Jashshash. Tafsir ini merupakan tafsir yang penting dalam fiqih mazhab Hanafi.
2)      AL-Tafsirat Al-Ahmadiyyah fi Bayan Al-Ayat Al-Syariah karya Mula Geon.
3)      Tafsir Ayat Al-Ahkam karya Muhammad AL-sayis
c.       Tafsir Falsafi yaitu tafsir yang dalamnya penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termask tafsir bi Al-ra’yi. Kitab-kitab yang termasuk dalam kategori ini antara lain:
1)      Tanzih Al-Quran An Al-Mathain, karya Al-Qhadhi Abdul Jabbar. Tafsir ini bercorak kalam alairan Mu’tazilah. Dilihat dari segi metode yang digunaknnya, tafsir ini termasuk tafsir Ijmaliy, sedangkan dari segi sumber penafsirannnya ia lebih banyak menggunakan akal, karena itu termasuk Tafsir Bi Al-Ra;yi.
2)      Mi’rat Al-Anwar Wa Misykat Al-Asrar, dikenal dengan Tafsir Al-Misykat karya Abdul Lathif Al-Kazarani. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah.
3)      Al-Tibyan AL-Jami Li kulli Ulum Quran karya Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan bin Ali Al-Thusi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
d.      Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi seumber penafsirannya tafsir bercorak Ilmiy ini juga termasuk tafsir bi Al-Ra’yi. Salah satu contoh kitab tafsir yang bercorak ilmiy adalah kitab Tafsir Al-Jawahir, karya Thantawi Jauhari.
e.       Tafsir Al-Adab Al-Ijtima’I yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah social kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir becorak AL-Adab AL-Ijtima ini termasuk tafsir Al-Ra’yi. Namun ada sebagian ulama yang mengakategorikannya sebagai tafsir Bi Al-Izsiwaj (tafsir campuran), karena persentase atsar dan akal sebagai sumber penafsirannya dilihatnya seimbang. Salah satu contoh tafsir yang bercorak demikian ini adalah Tafsir Al-Manar, buah pikiran Syeikh Muhammad Abduh yang dibuktikan oleh Muhammad Rasyid Ridha.
3.      Berdasarkan Metodenya
Para ulama Al-Quran telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan metode penafsirannya menjadi empa macam, yaitu tahlil, ijmali, muqaran, dan Maudhu’i.
a.       Metode Tahlil (Metode Analisis)
Metode tahlil adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Quran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian mufasir tersebut. Uraiannya antara lain  menyangkut pengertian kosakata (makna mufradat) keserasian redaksi dan keindahan bahasanya (fashahah dan balaghah), keterkaitan makna ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudah (munasabah Al-ayat) dan sebab-sebab turunnya ayat (asbab Al-Nuzul).
Penafsiran dengan metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai degan urutannya yang terdapat dalam mushaf Utsmani yang ada sekarang. Mulai dari awal surah Al-fatihah sampai dengan surah An-Nas.
b.      Metode Ijmali (Metode Global)
Metode ijmali yaitu penafsiran Al-Quran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tetapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat. Dalam hal ini musafor hanya menjelaskan arti dan maksud yang terkait secara langsung, tanpa menyinggung hal-hal tidak tekait secara langsung dengan ayat. Tafsir dengan metode ini sangat praktis untuk mencari makna mufradat kalimat-kalimat yang gharib dalam Al-Quran. Di antara kitab-kitab tafsir yang termasuk menggunakan metode ijmali antara lain :
1)      Tafsir Al-Quran Al-Azhim karya Muhammad Farid Wajdi
2)      Al-Tafsir Al-Wasith, produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar, Kairo.
3)      Tafsir Al-Jalalain karya Jalaludin Al-Suyuthiy dan Jalaludin Al-Mahali
c.       Metode Muqaram (Metode Komparasi/perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaram adala menafsirkan Al-Quran dengan cara mengambil sejumlah ayat AL-Qur’an, kemudian menemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecenderungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya. Metode komparatif (muqaram) adalah
1)      Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memliki redaksi yang berbeda tentang tentang dua kasus yang sama.
2)      Membandingkan ayat Al-Quran dengan Hadis yang sepintas terlhat bertentangan.
3)      Membandingkan pendapat berbagai ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat.
d.      Metode Maudhu’I (Metode Termatik)
Tafsir dengan metode maudhu’I adalah menjelaskan konsep Al-Quran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Quran yang membicarakan tema tersebut. Kemudian, masing-masing ayat tersebut dikaji secara komperhensif, mendalam, dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya.
Ciri metode ini adalah terfokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ada dalam Al-quran itu sendiri, maupun tema-tema yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode yang paling tepat untuk mengatasi betbagai masalah dengan konsep Al-Quran terhadap berbagai persoalan yang dihadapi uamt manusia.
Kitab-kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan metode maudhu’I tidak didapati dalam bentuk kitab-kitab tafsir dengan metode yang lain. Karena sifatnya tematik, maka pemunculanya berupa buku-buku mengenai tema tertentu yang digali dari Al-Qur’an. Contohnya :
1)      Al-Insan fi Al-Quran dan Al-Mar’ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqad
2)      Al-Riba fi Al-Quran karya Abu Al-A’la Al-Maudui










BAB 13
Munasabah Al-Qur’an
A.    Definisi Munasabah
Kata munasabah secara etimologis beraryi musyakallah (keserupaan) dan muqarabah (kedekatan). Adapun menurut pengertian terminologis beberapa ulama mendefiniskannya sebagai berikut
Menurut Al-Zarkasy, munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafaz umum dan lafaz khusus, atau hubungan antarayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.
Al-Qaththan berkata munasabah adalah menghubungkan antara jumlah dengan jumlah dalam suatu ayat, atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat atau antara surah dengan surah.
Menurut ibnu Al-Arabi munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Quran sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapa yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
Kesimpulannya, munasabah adalah pengetahuan tentang berbagai hubunga unsur-unsur dalam Al-Quran seperti hubungan antara jumlah dengan jumlah pada suatu ayat, ayat dengan ayat pada suatu surah, sura dengan surah pada sekumpulan surah, surah dengan surah termasuk hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah, antara fawatih Al-Suwar dengan khawatim Al-Suwar.
B.     Urgensi Munasabah
Ilmu munasabah melampaui kronologi historis dalam bagian-bagian teks untuk mencari sisi kaitan antarayat dan surah menurud urutan teks, yaitu disebut urutan pembacaan sebagai lawan dari urutan turunnya ayat.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surah merupakan urutan-urutan tauqify, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu.
Abu zaid, wakil dari ulama kontemporer berpendapat bahwa urutan-urutan surah dalam mushaf sebagai taufiqy, karena menurutnya pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh mahfudz. Perbedaaan antara urutan turun dan urutan pembacaan merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyususnan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan persesuaian antarayat dalam satu surah, dan antarsurah yang berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz (kemukjizatan).
Keseluruhan teks Al-Quran merupakan kesatuan structural yang bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks Al-Quran menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia) yang pasti. Dari sinilah umat islam dapat memfusingkan AL-Quran sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate). Akan tetapi, Fazlur Rahman mensinyalir adanya kesalahan umum di kalangan umat manusia dalam memahami pokok-pokok keterpaduan AL-Quran, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praktektnya, umat islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan yang diambil atau didasarkan dai ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.
Untuk melakukan pembacaan holistic terhadap Al-Auqan tersebut dibutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para musafir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprerhensif, dan holistic. ‘Ilm munasabah sebenarnya memberi lankah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (Al-qira’ah AL-muashirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan perajutan antarsurah dan antarayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode da pedekatan hermeneutika dan antropologi fiologis dalam ‘ilm munasabah.
C.     Macam-Macam Munasabah
Munasabah dapat dilihat dari dua segi yaitu:
1.      Sifat
Dilihat dari segi sifatnya, munasabah terbagi menjadi dua yaitu zhahir Al-Irtibath dan khafiy Al-Itibath.
a.       Zhahir Al-Irtibath
Yaitu persesuaian atau kaitan yang tampak jelas karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat lainnya, seolah-olah ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama.
b.      Khafiy Al-irtibath
Yaitu persesuaian atau kaitan yang samar antara ayat yang satu dengan ayat lain sehingga tidak tampak adanya hubngan antara keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu di Athafkan kepada yang lain, maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
c.        Materi
Munasabah dari segi materinya terbagi menjadi dua yaitu munasabah anatarayat dan munasabah antarsurah.
a.       Munasabah Antarayat
Munasabah antar ayat yaitu munasabah antara ayat satu dengan ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan ayat meliputi pertama di’athafkannya ayat yang satu pada ayat yang lain kedua tidak di’athafkannya ketiga digabungkannya dua hal yang sama keempat dikumpulkannya dua hal yang kotradiksi kelima dipindahkannya satu pembicaraan yang lain.
Munasabah antara kedua ayat tersebut adalah ayat pertama menjelaskan peranan Al-Quran dan hakikatnya bagi orang bertakwa, sedangkan ayat kedua menjelaskan karakteristik dari orang-orang bertakwa.
Munasabah antarayat mencakup beberapa bentuk yaitu:
1)      Munasabah antar nama surah dan tujuan turunnya
Setiap surah mempunyai tema pembicaraan yang menonjol dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surah Al-Baqarah dan surah Yusuf, surah An-Nahl dan surah Al-Jinn.
2)      Munasabah anatarbagian surah
Munasabah antarbagian surah (ayat atau beberapa ayat) sering berbentuk korelasi Al-tadhadadh (perlawanan).
3)      Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antarayat yang terlihat jelas umumnya menggunakan pola ta’kid (penguatan), tafsir (penjelasan). I’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).
Munasabah antarayat yang menggunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memeprkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya.
Munasabah anatarayat menggunakan pola tafsir apabila makna satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya.
Munasabah antarayat menggunakan pola I’tiradh apabila terdapat satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam I’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan dengan maknanya. Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat sampingnya.
Dalam surah Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasannya tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang bertakwa. Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
4)      Munasabah antara fashilah (pemisaj) da nisi ayat
Munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya memantapkan (tamkin) makna yang terkandung dalam ayat.
5)      Munasabah antara awal dengan akhir surah yang sama
Munasabah ini artinya bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikiran tertentu lalu pokok pikiran ini dikuatkan kembali di akhir surah ini.
b.      Munasabah Antarsurah
Munasabah antarsurah tidak lepas dari pandangan holistic Al-Quran yang menyatakan Al-Quran sebagai satu kesatuan yang bagian-bagian strukturnya terkait secara integral. Pembahasan tentang munasabah antarsurah dimulai dengan memosisikan antarsurah bagi surah Al-Fatihah sebagai umm Al-Kitab (induk Al-Quran), sehingga penempatan surah tersebut sebagai surah pembuka adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi Al-Quran. Penerapan munasabah antarsurah bagi surah Al-Fatihah dengan surah sesudahnya atau bahkan keseluruhan surah dalam Al-Quran menjadi kajian paling awal dalam pembahasan tentang masalah ini.
Contoh lain dari munasabah antarsurah adalah tampak dari munasabah antarsurah Al-Baqarah dengan surah Ali Imran. Keduanya menggambarkan hubungan antara dalil dengan keraguan-keraguan akan dalil. Maksudnya, surah Al-Baqarah merupakan surah yang mengajukan dalil mengenai hokum, karena surah ini memuat kaidah-kaidah agama sementara surah Ali Imran sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh islam.



BAB 14
Qiraat
Qiraat secara etimologi berarti bacan, sedangkan secara terminology umumnya berarti suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qurra’ (ahli bacaan Al-Quran) yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan, dan metode, dan riwayatnya. Walaupun merupakan sisi bacaan Al-Quran, qiraat berimplikasi pada makna dan penafsiran yang harus dipertanggungjawabkan. Itulah sebabnya, banyak terjadi perbedaan di antara imam qurra’.
A.    Sikap para Ulama terhadap Qiraat
Pada dasawarsa pertama Abad IV Hijriah, seorang ulama dari Bagdad pernah dicekam. Menurut tuduhan yang dijatuhkan kepada ulama itu, ia telah mengakibatkan keracunan pemahaman orang banyak terhadap pengertian tujuh kata yang dengannya Al-Quran diturunkan. Padahal apa yang ia lakukan waktu itu hanyalah mengoleksi qiraat-qiraat para imam qiraat terkemuka. Akan tetapi, agaknya ulama yang menuduhnya sesat, misalnya Abu Al-Abbas bin Amar tidak mau tahu apa sesungguhnya yang telah dibuat Abu Bakar. Abu Al-abbas secara pedas mengecap Abu Bakar sebagai Si Pembuat Tujuh.
Istilah qiraat sab’ah pada zaman Abu Al-Abbas memang belum popular, tetapi tidak berarti tidak ada. Qiraat ini sesungguhnya sudah akrab di dunia akademis sejak abad II Hijriah. Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qiraat itu karena kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya mengambil sekaligus memasyarakatkan satu jenis qiraat saja. Sementara qiraat-qiraat lainnnya jika dianggap tidak benar, maka ditinggalkan dan ditoleh.
Ibnu Mujahidlah orang yang pertama kali menginventarisasi tujuh bacaan tokoh-tokoh yang mempunyai sanad bersambung langsung kepada sahabat Rasulullah SAW yang terkemuka. Mereka adalah
1.      Abdullah bin Katsir Al-Dariy dari Mekah
2.      Nafi’ bin Abd Al-Rahman bin Abu Na’im
3.      Abdullah Al-yahshibiy
4.      Abu Amar dan Ya’kub
5.      Hamzah dan Ashim
Ketika Ibnu mujahid menghimpun qiraat mereka, ia meniadakan nama Ya’kub kemudian digantikan dengan Al-Kasa’i. penggeseran ini memberi kesan seolah-olah ibnu Mujahid menganggap cukup qari Bashrah diwakili oleh Abu Amr. Sementara itu, Ibnu Mujahid menetapkan tiga nama untuk Kufah. Mereka adalah Hamzah, ‘Ashim, dan Al-Kasa’i.
Kemasyhuran ketujuh tokoh qiraat di atas semakin luas setelah Ibnu Mujahid secara khusus membukukan qiraat-qiraat mereka.  Di luar yang tujuh itu sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, sedikitnya masih ada tiga tokoh lain yang qiraatnya memenuhi persyaratan sehingga wajib diterima. Oleh karena itu, dikenal pula kemudian Qiraat Al-Asyr (Qiraat Sepuluh), dan Qiraat Al-Arba’ ‘Asyarah (Qiraat Empat Belas)/
Qiraat Sepuluh adalah qiraat tokoh-tokoh yang ditetapkan Ibnu Maujahid ditambah dengan Qiraat Ya’kub, Qiraat Khalaf bin Hasyim, dan Qiraat Yazid bin Al-Qa’ga.
Kemudian Qiraat Empat Belas adalah sepuluh qiraat yang telah disebutkan ditambah dengan qiraat empat tokoh lainnya yaitu Hasan Al-Bishri, Muhammad bin Abdu Al-Rahman, Yahya bin Al-mubarak Al-Yazidy, Abu Al-Faraj Muhammad bin Ahmad Al-Syanbudzi.
Untuk menambah diterimanya sebuah qiraat, para ulama menetapkan kriteria-kriteria sebagai berikut
1.      Mutawatir, yaitu qiraat yang diturunkan dari beberapa orang dan tidak mungkin terjadi kebohongan.
2.      Sesuai dengan kaidah bahasa Arab
3.      Sesuai dengan tulisan Mushaf Utsman
4.      Mempunyai sanad yang sahih.
Suatu qiraat hanya bisa diterima apabila terbukti bernarasumber(diambil dari sumber utama) dari generasi sebelumnya melalui belajar membaca qiraat tersebut. Cara ini dikenal dengan istilah musyafahah (mendengar) sehingga sanadnya benar-benar menyambung dengan sahabat Rasulullah SAW yang mengambil (belajar) qiraat kepada Rasulullah SAW. Dengan sanad yang menyambung dengan Rasulullah membuat para ulama menganggap qiraat yang dapat terima itu tauqifiy. Artinya bukan dibikin oleh tokoh tertentu dan bahkan buatan Rasulullah SAW sendiri, tetapi dating dari dan sesuai dengan yang diajarkan Allah kepada Rasulullah melalui Jibril.
Dengan diyakininya qiraat sebagai sesuatu yang taufiqiy, maka anggapan qiraat itu ikhtiariyah (ditetapkan melalui proses ijtihad) tidak dapat diterima oleh ulama-ulama qiraat.
Ketetapan ulama qiraat untuk hanya mengambil qiraat yang akurat dan shahih bukan yang hanya benar menrut kaidah bahasa Arab, kemudian melahirkan tradisi yang dipegang kuat oleh para ulama. Kendati demikian masih terdapat ahli-ahli bahasa yang tidak menggubris tradisi itu. Tujuan ahli-ahli bahasa itu bisa jadi mulanya sekedar memperkenalkan apa yang disebut Qiraat Syadz atau qiraat yang meragukan.
B.     Qiraat Syadz
Qiraat Syadz adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih, yakni tidak memenuhi persyaratan yang diminta untuk keabsahan sebuah qiraat. Misalnya tidak mutawatir, atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab atau tidak sesuai dengan tulisan Mushaf Utsman.
Disamping mutawatir dan syadz, juga terdapat jenis qiraat lain yang dikenal di dalam dunia ilmu  Al-Quran yang dijelaskan dibawah ini :
1.      Masyhur, qiraat mashur adalah qiraat yang sanadnya sahih karena diriwayatkan oleh tokoh yang adil, dhabith (mempunyai ketelitian tulisan atau hafalan yang baik) sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan Mushaf Utsman.
2.      Shahih Sanad. Qiraat macam ini sanadnya sahih tetapi tidak sama dengan tulisan Mushaf Utsman atau tidak seterkenal Qiraat Masyhur dan Mutawatir.
3.      Maudhu’. Qiraat ini hanya dinisbahkan kepada orang tanpa asal-usul yang pasti, bahkan tanpa asal-usul sama sekali.
4.      Yang terakhir adalah qiraat tambahan, yaitu bacaan yang sesungguhya sekadar penafsiran, tetapi dianggap qiraat.
C.     Sebab Perbedaan Para Qori
Ada qiraat sab’ah (qiraat tujuh), qiraat ‘asyarah (qiraat sepuluh), qiraat arba’ata ‘asyar (qiraat empat belas) dan seterusnya. Hal ini terjadi akibat salah satu atau beberapa sebab, antara lain :
1.      Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.
2.      Perbedaan pada I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya.
3.      Perbedaan pada perubahan huruf tanpa mengubah I’rab dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah.
4.      Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan, tetapi tanpa perubahan maknanya.
5.      Perbedaan pada kalimat yang bentuk dan maknanya berubah pula.
6.      Perbedaan pada mendahulukan kata dan mengakhirkannya.
7.      Perbedaan dengan menambah atau mengurangi huruf.

BAB 15
Muhkam dan Mutasyabih
Pembahasan mengenai muhkamat dan mutasyabihat yang menjadi tugas Ulum Al-Quran adalah yang dimaksud dalam surah Ali Imran ayat 7 yang berbunyi:
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Menurut ayat ini, jelas bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang muhkamat dan yang mutasyabihat. Atas dasar itulah para ulama definisi kedua jenis ayat itu. Dr. amir Aziz dalam dirasat fi Ulum Al-Quran menginventarisasi enam definisi dalam masalah ini.
Pertama, definisi yang oleh Dr. amir dinyatakan sebagai pendapat Ahlu Sunah. Muhkam atau Muhkamat adalah ayat yang bisa dilihat pesannya dengan gambling atau dengan melalui takwill, karena ayat yang perlu ditakwil itu mengandung pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah SWT.
Kedua, definisi dari Ibnu Abbas. Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung bermacam-macam pengertian.
Ketiga, muhkam adalah ayat yang maknanya rasional. Artinya, dengan akal manusia saja pengertian ayat itu sudah dapat ditangkap, tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan.
Keempat, ayat-ayat Al-Quran yang muhkam adalah ayat yang nasikh dan mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidh, dan semua wajib diimani dan diamalkan.
Kelima, ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang mengandung halal dan haram. Ayat-ayat mutasyabihat di kuat ayat-ayat tersebut.
Keenam, ayat muhkam adalah ayat yang tidak ter-nasakh (tidak mansukh). Sementara ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang dinasakh.
Dari enam definisi yang disodorkan Dr. amir Abd Al-Aziz kelihatanna yang bisa diterima adalah definisi pertama, yakni definisi yang menjadi panutan Ahli Sunah. Berbeda dengan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat pada kelompok ini tidak jelas maksudnya. Artinya tidak dengan mudah bisa ditangkap, karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa jadi mengandung pengertian yang bermacam-macam.
Dari segi penguasaan maknanya, Ashfahaniy membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga macam :
Pertama, ayat-ayat yang tidak bisa ditangkap maknanya kecuali oeh Allah. Misalnya, mengenai kedatanagn hari kiamat.
Kedua, ayat-ayat yang manusia mungkin saja menangkap maknanya dengan melalui sebab tertentu.
Ketiga, ayat-ayat yang tidak bisa ditangkap maknanya oleh kebanyakan orang tetapi bisa ditangkap oleh orang tertentu, yaitu mereka yang oleh Al-Quran disebut Al-Rasikhuna fi Al-Ilmi.


BAB 16
Problematika Nasakh
A.    Mansa’
Dilihat dari segi bahasa mansa berate “Al-Muakhoru” (yang diakhirkan) atau “Al-Muajjalu” (yang ditunda). Mansa di dalam Al-Quran bermakna ayat-ayat yang mengandung hokum lantaran bersifat sementara. Dengan hilangnya sebab yang hanya bersifat sementara itu, maka berakhirlah masa berlaku hokum yang kemudian posisinya digantikan oleh hokum lain yang baru.
Islam hadir justru mengubah ajaran-ajaran yang telah ada dan bertentangan  dengan kodrat insani. Dengan kata lain, islam datang untuk mencabut atau membatalkan syariat-syariat lama. Pembatalan-pembatalan itu termaktub di dalam sebuah kitab suci yang bernama Al-Quran. Persoalannya yaitu kalau pembatalan syariat semacam ini dianggap sebagai nasikh, tentulah semua isi Al-Quran sebagian besarnya disebut nasikh karena telah menghapuskan semua atau sebagian besar syariat dan tradisi yang ada sebelumnya, baik itu yang tumbuh dikalangan orang-orang musyrik maupun yang berlaku di masyarakat Ahli Al-Kitab.
Yang dimaksud nasakh adalah praktik-praktik yang pernah dibenarkan islam, yang kemudian dibatalkan juga oleh syariat islam.
B.     Takhshish Al-‘Am
Sekiranya kalimat yang keluar dari mulut mubalig itu dibagi dua, maka paruh pertamanya memvonis pemuda telah hanyut ke lembah kebobrokan moral, sangat mencintai dunia, dan tidak siap bahkan takut menghadapi kematian. Karena yang disebut “pemuda-pemudi” adalah umum atau yang dalam pembahasan sekarang ini disebut ‘Am. Sementara di paruh kedua, yang dimulai dengan kata kecuali adalah pengecualian atau pengkhususan dari bentuk umum. Dalam bahasa arab pengkhususan disebut Takhshih.
C.     Taqyid Muthlaq
Taqsyid Muthlaq bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti “mengaitkan sesuatu yang mutlak”. Prof. hasbi ash-shiddieq mendefinisikan muqayyad sebagai “nash muqayad adalah Nash yang merujuk pada satu dan dikaitkannya dengan suatu sifat”.
D.    Tabyin Al-Mubham
Tabyin berarti memperjelas dan Al-Mubham artinya kabur, tidak terang dan masih mengundang pertanyaan.


E.     Mujmal
Mujmal secara lughawi berarti global, ada dua macam mujmal:
Mujmal terjadi karena beberapa sebab berikut :
1.      Isytirak, yakni pengertian ganda.
2.      Mengandung pengertian ‘athaf dan isti’naf
Untuk mencari kejelasan pengertian ayat yang bersifat mujmal tidak ada keharusan hanya dengan ayat Al-Quran pula karena antara satu ayat Al-Quran dan ayat lainnya saling menafsirkan.


BAB 17
Nasikh – Mansukh
A.    Definisi Nasikh-Mansukh dan Pro-Kontra para Ulama
Nasakh secara istilah berarti mencabut berlakunya hokum syara’ dengan dalil syara’ yang dating belakangan. Pada umumnya Nasakh dibagi menjadi tiga kategori:
Pertama, ayat yang bacaan dan hukumnya di nasakh.
Kedua, ayat yang bacaannya di nasakh sedangkan hukumnya tidak.
Ketiga, ayat yang bacaannya tetap berlaku, tetapi hukumnya tidak.
Setelah mengenal tiga macam aspek nasakh, berikut diperkenalkan nasakh. Nasakh dibagi menjadi tiga macam :
Pertama, nasakh perintah sebelum perintah itu sendiri dilaksanakan.
Kedua, apa yang disebut nasakh tajawwuz yakni nasakh terhadap perintah yang diwajibkan kepada umat sebelum islam.
Ketiga, nasakh terhadap perintah yang karena sebab tertentu kemudian dibatalkan lantaran hilangnya sebab.
B.     Ayat-Ayat yang Terkena Nasakh
Setelah melakukan penelitian, para ulama dan ahli ushul bertemu kata. Mereka sepakat bahwa nasakh hanya terjadi pada ayat amar (perintah) dan nahi (larangan). Hatta amar dan nahi itu berbentuk khabar (kalimat berita) yang mempunyai pesan thalab (permintaan). Sementara pada kalimat berbentuk khabar yang bukan bermakna thalab, nasakh tidak terjadi. Termasuk dalam kategori ayat yang tak terkena nasakh ini: janji (wa’d), ancaman (wa’id), dan cerita-cerita menegnai berbagai umat.
Menurut Syekh imam abu al-hasan dalam hubungannya dengan nasikh mansukh, surah-surah Al-Quran dibagi menjadi empat kelompok:
Pertama, surah yang didalamnya tidak terdapat ayat-ayat nasikh dan tidak terdapat ayat mansukh.
Kedua, surah yang di dalamnya terdapat nasikh tetapi tak terdapat mansukh.
Ketiga, surah yang didalamnya terdapat ayat-ayat mansukh tetapi tidak terdapat padanya nasikh.
Keempat, surah yang mengandung nasikh dan mansukh.
C.     Ayat-Ayat yang Kena dan Bebas Nasakh
Dari 114 surah yang ada di dalam Al-Quran hanya 43 surah yang bebas nasakh. Ini berarti sebagian besar surah Al-Quran menjadi nasikh, yakni yang menduduki posisi hokum yang termuat pada ayat yang dinasakh. Oleh karena dikatakan ada ayat yang menggantikan status hokum ayat tertentu, maka sudah jelas ada ayat yang status hukumnya digantikan atau bahkan dihilangkan (mansukh).
D.    Ayat-ayat yang Tidak Terkena Nasakh
Para ulama ushul, kata Dr. amir Abd Al-Aziz sepakat bahwa nasakh hanya mungkin terjadi pada ayat yang menyangkut amar ma’ruf dan nahi munkar. Termasuk dalam kategori ini ayat-ayat yang bentuk kalimatnya khabar (berita) bermakna thalab (permintaan, tuntutan). Di luar ayat-ayatn yang bentuk kalimatnya semacam ini, nasakh tidak terjadi.
E.     Ayat-Ayat yang Dinilai Mengandung Kontradiksi
Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin mengandung kontradiksi satu sama lainnya. Yang menjadi pembahasan ini bukan soal apakh di dalam Al-Quran terdapat ayat yang bertentangan satu sama lainnya? Bukan, karena ayat-ayat Al-Quran satu sama lainnya tidak bertentangan. Yang dibahas masalah ayat yang kadang-kadang oleh pembacanya dianggap bertentangan.
Menurut Al-Zarkasyi ada beberapa sebab demikian :
Pertama, karena berita yang diinformasikan masih terjadi proses dan keadaan yang tidak sama.
Kedua, ikhtilaf yang disebabkan oleh berbedanya topic yang dibicarakan.
Ketiga, ayat tersebut berbicara tentang suatu peristiwa yang akan dilalui manusia di hari akhirat kelak.
F.      Diskusi di Sekitar Ayat yang Dianggap Mansukh
Ayat-ayat Al-Quran yang dianggap telah dibatalkan hukumnya, tetapi masih tetap dibaca alias mansukh menurut hitungan AL-Nahas seperti dikutip dalam Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran jumlahnya mencapai 100 buah. Namun, seorang ulama Al-Suyuthiy menghitung ulang ayat-ayat yang telah batal hukumnya. Kesimpulannya Suyuthiy, ada 20 ayat yang oleh karena tidak dikompomikan dengan ayat yang dipandang nasikh terpaksa dinyatakan mansukh.
Angka ayat mansukh semakin menciut dalam hitungan seorang ulama lain. Al-Syaukaniy melihat 12 ayat yang dianggap Suyuthiy tak mungkin digabungkan ternyata olehnya bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansukh menurut Syaukaniy hanya 8 buah.




BAB 18
Israiliyyat dalam Penafsiran Al-Quran
A.    Definisi Israiliyyat
Secara etimologis istilah israiliyyat adalah bentuk jamak dari kata israiliyah yakni bentuk kata yang dinisbahkan pada bangsa Israil yang cikal bahasanya adalah ibrani. Kata israil tersusun dari dua kata yaitu Isra yang berarti hamba dan ‘Il yang berarti Tuhan. Jadi, Israil adalah Hamba Tuhan.
Secara termonologis, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan israiliyyat. Menurut Al-Dzahabi, israiliyyat mengandung dua pengertian. Pertana, kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir Al-Quran dan Hadist yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nasrani, dan lainnya. Kedua, cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh islam ke dalam tafsir Al-Quran dan Hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
Definisi lain dari Al-Syarbasi adalah kisah-kisah dan berita-berita yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam islam.
Satu definisi lagi hamper sama, israiliyyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab, baik yang berhubungan dengan agana mereka maupun yang tidak ada hubungannya sama sekali,
B.     Proses Masuk dan Berkembangnya Israiliyyat dalam Tafsir Al-Quran
Sejak tahun 70 N terjadi imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Jazirah Arab karena adanya ancaman dan siksaan dari penguasa Romawi yang bernama Titus.
Pada era Rasulullah SAW, informasi dari kaum Yahudi dikenal sebagau israiliyyat tidak berkembang dalam penafsiran Al-Quran, sebab hanya beliau stau-satunya penjelas (mubayin) berbagai masalah atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran.
Setelah Rasulullah SAW wafat, tidak ada seorang pun yang berhak menjadi penjelas wahyu Allah, dalam kondisi ini para sahabat mencari sumber dari Hadis. Apabila mereka tidak menjumpai, mereka berijtihad.
Pada era sahabat inilah israiliyyat mulai berkembang dan tumbuh subur. Hanya saja dalam menerima riwayat dari Kaum Yahudi fan Nasrani pada umumnya mereka amat ketat.
Pada era Tabi’in, penukilan dari Ahli KItab semakin meluas dan cerita-cerita israiliyyat dalam tafsir semakin berkembang. Sumber cerita ini adalah orang-orang yang masuk islam dari kalangan Ahli Kitab yang jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dari orang-orang untuk mendengar kisah-kisah yang ajaib dalam kitab mereka.
C.     Pengaruh Israiliyyat dalam Penafsiran Al-Quran
Menurut Zainul Hasan Rifa’I dalam Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran Al-Quran, masuknya israiliyyat dalam penafsiran Al-Quran terutama yang bertentangan dengan prinsip asasinya banyak menimbulkan pengaruh negative terhadap islam.
Masuknya israiliyyat ini memalingkan perhatian umat islam dalam mengkaji soal-soal keilmuwan islam. Dengan larutnya umat islam ke dalam keasyikan menikmati kisah-kisah israiliyyat, mereka tidak bagi antusias memikirkan hal-hal makro yang justru berkaitan langsung dengan persoalan umat.
Israiliyyat juga memberikan gambaran seolah-olah islam agama khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Disamping itu, israiliyyat bisa menghilangkan kepercayaan umat islam kepada sebagian ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
Dari berbagai israiliyyat yang mewarnai kitab tafsir, menurut penulis setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh musafir. Pertama, mufasir harus bersikap ekstra hati-hati kepada cerita Israiliyyat. Kedua, harus diperhatikan kesesuaiannya dengan syariat islam. Ketiga, apakah sesuai dengan rasio atau tidak.

BAB 19
Kemukjizatan Al-Quran
A.    Pengertian Mukjizat
Secara etimologis, kata mukjizat diadaptasi dari bahasa Arab (mu’jizah) sebagai ismul-fail (kata yang menunjukan pelaku perbuatan), yang dapat diartikan yang melemahkan atau yang menjadikan tidak mampu. Kata itu berasal dari a’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.
Secara etimologis, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan mukjizat sebagai kejadian ajaib/luar biasa yang sukar dijangkau oleh kemampuan manusia.
B.     Aspek-Aspek Kemukjizatan Al-Quran
Berdasarkan sifanya, mukjizat (Al-Quran) yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sangatlah berbeda dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu. Perbedaan tersebut bertolak pada dua hal mendasar, yaitu pertama, para nabi sebelum Muhammad SAW ditugaskan kepada masyarakat dan pada masa tertentu. Kedua, secara historis-sosiologis alam pemikiran manusia mengalami perkembangan.
1.      Aspek Kebahasaan dan Kesastraan
Dari segi kebahasaan dan kesastrannya Al-Quran mempunyai gaya bahasa khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yan keduanya mempunyai makna yang dalam.
2.      Aspek Isyarat Ilmiah
Selain kesitimewaan pada kebahasaan, Al-Quran juga mempunyai isyarat-isyarat ilmiah yang sebagian ulama menganggap sebagai bentuk kemukjizatan Al-Quran. Beberapa aspek terkait kemukjizatan ilmiah Al-Quran:
a.       Kemenangan Bizantium
b.      Kemenangan di Khaibar dan Mekah
c.       Ditemukannya Jasad Fir’aun
d.      Fenomena Berpasang-pasangan
e.       Kejadian Manusia di Dalam Rahim
f.        Karakter Binatang yang Hidup Berkelompok
g.      Pergerakan Benda Angkasa
h.      Langit yang Mengembang (Expanding Universe)
i.        Gunung Bergerak
j.        Relative Waktu

3.      Aspek kisah
Diantara hal yang menarik dari Al-Quran adalah kandungannya tentang kisah kaum-kaum terdahulu, hingga jauh ke hulu sejarah peradaban umat manusia yang tak mungkin buku sejarah mana pun mampu mengkover secara akurat.
Bahkan Al-Quran juga memberi informasi terhadap kejadian-kejadian yang bakal terjadi, misalnya kemenangan bangsa Romawi atas bangsa  Persia pada masa sekitar Sembilan tahun sebelum peristiwa tersebut terjadi.
4.      Aspek Tasyri’ (Hukum)
Tak kalah menakjubkan lagi ketika Al-Quran berbicara tentang hokum (tasyri’) baik yang bersifat individu, social (pidana, perdata, ekonomi dan politik) dan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban umat, manusia selalu berusaha membuat hokum-hukum yang mengatur sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam kehidupan mereka.
C.     Paham Ahlush-Sharfah
Paham ash-sharfah menurut berkah muncul ketika kebudayaan Hindu masuk dalam pemikiran islam setelah para pemikir islam menelaah paham Brahmanisme dalam kitab Weda. Kitab ini berisi kumpulan syair-syair yang dianggao bukan buatan manusia.
Akhirnya paham ash-sharfah masuk dalam khazanah pemikiran islam, khususnya tentang kemukjizatan Al-Quran. Dalam hal ini kaum ash-sharfah memandang:
Pertama, semangat orang-orang untuk menantang Al-Quran dilemahkan oleh Allah SWT
Kedua, cara Allah memalingkan adalah dengan mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki dan yang diperlukan guna lahirnya satu susunan kalimat serupa dengan Al-Quran.
Bahkan ketika para kritikus masa kini dan masa lalu membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan syair dan ucapan-ucapan yang mereka gubah, baik sebelum maupun sesudah turunnya Al-Quran, mereka menundukan kepala karena kagum membaca betapa besar perbedaam antara keduanya.

Comments