Pengertian Naskh



A.           Pengertian Naskh
Secara lughawi, ada empat makna naskh yang sering diungkapkan ulama, yaitu sebagai berikut :
1.             Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut :
!$tBur$uZù=yör&`ÏBy7Î=ö6s%`ÏB5AqߧŸwur@cÓÉ<tRHwÎ)#sŒÎ)#Ó©_yJs?s+ø9r&ß`»sÜø¤±9$#þÎû¾ÏmÏG¨ÏZøBé&ã|¡Yusùª!$#$tBÅ+ù=ãƒß`»sÜø¤±9$#¢OèOãNÅ6øtäª!$#¾ÏmÏG»tƒ#uä3ª!$#uríOŠÎ=tæÒOŠÅ3ymÇÎËÈ
Artinya : “dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hajj [22] : 52)
2.             Tabdil (pengganti), seperti dalam ayat berikut :
#sŒÎ)ur!$oYø9£t/Zptƒ#uäšc%x6¨B7ptƒ#uä ª!$#urÞOn=ôãr&$yJÎ/ãAÍit\ãƒ(#þqä9$s%!$yJ¯RÎ)|MRr&¤ŽtIøÿãB4ö@t/óOèdçŽsYø.r&ŸwtbqßJn=ôètƒÇÊÉÊÈ
Artinya : “dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya

kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (QS. An-Nahl [16] : 101)
3.             Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarits, artinya memalngkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4.             Naql (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain), seperti nasakhtu Al-kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab terebut berikut lafazh dan tulisannya. Sebagian ulam menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa si nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh yang di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain.

B.            Rukun dan Syarat Naskh
1.             Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.             Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
3.             Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.             Mansukh, ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh adalah :
1.             Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2.             Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3.             Pembatalan hukum tidak disebabkan oelh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di-naskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.             Tuntutan yang mengandung naskh harus dating kemudian.



C.           Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’
NASKH
TAKHSHISH
1.    Satuan yang terdapat dalam naskh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh.
2.    Naskh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3.    Naskh hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudian.


4.    Naskh adanya menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
5.    Setelah terjadi naskh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh.
1.     Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafzh ‘amm.
2.     Takhshish adalah merupakan hukumdari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.
3.     Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
4.     Takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah di-khususkan.
5.     Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.

Adapun bada’ menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah azh-zhuhur ba’da Al-khafa’ (menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah surat Al-Jatsiyyah [45] ayat 33:
#yt/uröNçlm;ßN$t«Íhy$tB(#qè=ÏHxås-%tnurNÍkÍ5$¨B(#qçR%x.¾ÏmÎ/šcrâäÌöktJó¡oÇÌÌÈ
Artinya : “dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya.
Arti ba’da yang lain adalah ‘nasy’ah ra’yin jaded lam yaku maujud (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi ini pun tersirat dalam firman Allah pada surat Yusuf [12] ayat 35 :
¢OèO#yt/Mçlm;.`ÏiBÏ÷èt/$tB(#ãrr&uÏM»tƒFy$#¼çm¨ZãYàfó¡uŠs94Ó®Lym&ûüÏmÇÌÎÈ
Artinya : “kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu.
Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya dengan hakikat nash. Dalam bada’  timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh ketidaktahuan sang pembuat hukum akan kemungkinan munculnya hukum baru itu. Ini tentu berbeda dengan naskh, sebab dalam naskh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah mengetahui nasikh  danmansukh sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum tu diturunkan kepada manusia.

D.           Dasar-Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah :
1.             Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti hadis : “Kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa zuruha” (Aku (dulu) melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah. Juga seperti ungkapan Anas berkaitan dengan Ashab sumur Ma’unah : “Wa nuzilah fihim quran qaranah hata rufi’a” (Untuk mereka telah turun ayat, sampai akhirnya dihapus);
2.             Melalui keepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh;
3.             Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turu, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.

E.            Perbedaan Pendapat tentang Adanya Ayat-Ayat Mansukh dalam Al-Qur’an
Sebagian telah disebutkan di atas, terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang eksistensi naskh dalam Al-Qur’an.
1.             Menerima keberadaan naskh dalam Al-Qur’an. Pendapat ini dikemukakan mayoritas ulama. Untuk memperkuat pendapatnya, mereka mengemukakan argumentasi naqliah dan aqliah. Diantara argumentasi naqliah yang mereka kemukakan adalah firman Allah berikut :
*$tBô|¡YtRô`ÏB>ptƒ#uä÷rr&$ygÅ¡YçRÏNù'tR9Žösƒ¿2!$pk÷]ÏiB÷rr&!$ygÎ=÷WÏB3öNs9r&öNn=÷ès?¨br&©!$#4n?tãÈe@ä.&äóÓx«íƒÏs%ÇÊÉÏÈ
Artinya : “Ayat mana saja  yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?.” (QS. Al-Baqarah [2] : 106)
Naskh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang tidak dilarang berarti boleh.Dalam hal ini, Mu’tazilah menambahkan bahwa hukum Allah itu wajib membawa maslahat bagi hamba-Nya.Adapaun Ahl Sunnah mengatakan bahwa tidak ada yang waib bagi Allah sesuatu pun terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu, kalaupum Allah me-naskh-kannya tidak akan membawa aibat kepada hukumnya. Namun, semua hukum Allah dan perbuatan-Nya adalah himmah balighah, ilu yang luas dan Mahasuci dari sifat jahat dan aniaya.
2.             Menolak keberadaannaskhdalam Al-Qur’an. Diantara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Abu Muslim Al-Ashfahani. Khudori Beik menjelaskan bahwa Imam Ar-Razi juga sependapat dengan Al-Ashfahani. Masuk ke dalam kelompok yang berseberangan dengan pendapat mayoritas di atas adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy, dan Ustadz Al-Khudri. Khusus mengenai Abduh, Quraish Shihab tampaknya tidak setuu sepenuhnya untuk menetapkannya sebagai kelompok penentang naskh. Sebab, bagi Abduh, naskh diberi pengertian bukan sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian, pengalihan, dan peindahan ayat hukum di satu tempat kepada ayat hukum di tempat lain.

F.            Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh dalamAl-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu :
1.             Naskh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghpaus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
2.             Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-duanya diketahui waktu turunnya, ayat-ayat yang dating kemudian menghapus ayat yang terdahulu.
3.             Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
4.             Nasikh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagis sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh kepada tiga macam yaitu :
1.             Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
2.             Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaanya tetap ada.
3.             Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Adapun dari sisi otoritas mana yang berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh ke dalam empat macam :
1.             Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an: para ulama sepakat akan kebolehannya.
2.             Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah: bagi kalangan ulama Hanafiyah, naskh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah mutawatir atau masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa sunnah ahad. Bila kedua jenis sunnah di atas berstatus qhath’i tsubut , sebagaimana Al-Qur’an, hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang bersifat zhanny tsubut.
3.             Naskh As-Sunnah dengan A-Qur’an, menurut mayoritas ahli ushul, naskh semacam ni benar-benar terjadi.
4.             Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah. Bagi Al-Qaththan, pada dasarnya, ketentuan naskh dalam jma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.

G.           Hikmah Keberadaan Naskh
1.             Menjaga kemaslahatan hamba.
2.             Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.             Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian di hapus.
4.             Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat darpada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.


Comments