A.
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Menurut etimologi (bahasa), muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak
mungkin diganti atau diubah (ma ahkam
Al-murad bib ‘an al-tabdil wa at-taghyir). Adapun mutasyabih adalah ungkapan
yang maksud makna lahirnya samar (ma
khafiya bi nafs Al-lafzh).
Adapun menurut pengertian terminlogi (istilah), muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama, seperti berikut ini :
1.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang maksudnya
dapat diketahui dengan gambling, baik melalui takwil (metafora) ataupun tidak. Sementara itu, ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya
hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari Kiamat, keluarnya
Dajjal, dan huruf-huruf muqaththa’ah.
2.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang maknanya
jelas, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.
3.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang maknanya
dapat dipahami akal, seperti bilangan rakaat shalat, kekhususan bulan Ramadhan
untuk pelaksanaan puasa wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.
4.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang maksudnya
segera dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan penakwilan untuk
mengetahui maksudnya.
5.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang
lafazh-lafzhnya tidak berulang-ulang. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.
6.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang berbicara
tentang kefarduan, ancaman, dan janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan.
Dari
pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa inti muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya
sudah jelas, tidak samar lagi.
Masuk kedalam
kategori muhkam adalah nash(kata yang menunjukkan sesuatu yang
dimaksud dengan terang dan tegas, dan memang untuk makna itu ia disebutkan) dan
zhahir (makna lahir). Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas. Masuk ke dalam kategori mutasyabih adalahmujmal (global), muawwal (harus
ditakwil), musykil, dan mubham (ambigius).
B.
Sikap Para Ulama terhadap Ayat-Ayat
Muhkam dan Mutasyabih
Para
ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui pula leh manusia, atau hanya Allah saja
yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara
menjelaskan struktur kalimat ayat berikut :
u$tBurãNn=÷ètÿ¼ã&s#Írù's?wÎ)ª!$#3tbqãź§9$#urÎûÉOù=Ïèø9$#tbqä9qà)t$¨ZtB#uä¾ÏmÎ/@
Artinya : “…Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah.dan orang-orang yang
mendalami ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat,…” (QS.Ali Imran [3] : 7)
Apakah
ungkapan wa Al-rasikhuna fi Al-‘ilm di
–athaf-kan pada lafazh Allah,
sementara lafazh yaquluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang
yang mendalam ilmunya. Atau apakah ungkapan wa
Al-rasikhuna fi Al-‘ilm sebagai mubtada’
, sedangkan lafazh yaquluna sebagai
khabar? Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah,
sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.
Sebagian
besar sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlusunnah,
berpihak pada penjelasan gramtikal yang kedua.Ini pula yang merupakan riwayat
paling sahih dari Ibn ‘Abbas.
Ar-Raghib
Al-Asfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi persoalan ini. Ia membagi
ayat-ayat mutasyabih dari segi
kemungkinan mengetahui maknanya pada tiga bagian :
1.
Bagian
yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya
hari Kiamat, keluar binatang dari bumi, dan sejenisnya.
2.
Bagian
yang menyebabkan manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti
kata-kata asing di dalam Al-Qur’an.
3.
Bagian
yang terletak diantara keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang
yang mendalam ilmunya.
Sikap
para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi
dalam dua kelompok , yaitu :
1.
Madzhab
salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah).
Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi
Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an.
2.
Madzhab
khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat
perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih
yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan
keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin. Imam
Al-Haramain (W. 478 H.) pada mulanya termasuk madzhab ini, tetapi kemudian
menarik diri darinya. Dalam Ar-Risalah
An-Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama
adalah mengikuti madzhab salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan cara
tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih.
C.
Fawatih As-Suwar
Huruf
Al-muqaththa’ah (huruf yang
terpotong-potong) disebut fawatih suwar (pembuka
surat), menurut As-Suyuthi, tergolong dalam ayat mutasyabih.
Adapun
bentuk redaksi fawatih as-suwar di
dalam Al-Qur’an dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Terdiri
atas satu huruf, terdapat pada tiga tempat:surat Shad [38]; 1 yang diawali
huruf shad, surat Qaf [50]; 1 yang
diawali huruf qaf, surat Al-Qalam
[68]; 1 yang diawali huruf nun.
2.
Terdiri
atas dua huruf, terdapat pada sepuluh tempat: surat Al-Mukmin [40]:1; surat
Fushshilat [41]:1; surat Asy-Syura [42]:1; surat Az-Zukhruf [43]:1; surat
Ad-Dukhan [44]:1; surat Al-Jatsiyyah [45]:1; dan surat Al-Ahqaf [46]:1 yang
diawali huruf ha mim, surat Thaha
[20]: 1 yangdiawali huruf tha ha;
suart An-Naml [27]:1 yang diawali huruf tha
sin, surata Yaa Siin [36]:1 yang diawali huruf ya sin.
3.
Terdiri
atas tiga huruf, terdapat pada 13 tempat: surat Al-Baqarah [2]:1; surat ‘Ali
Imran [3]:1; surat Al-‘Ankabut [29]:1; surat Ar-Rum [30]:1; surat Luqman
[31]:1; surat As-Sajdah [32]:1 yang diawali huruf alif lam mim; surat Yunus [10]:1; surat Hud [11]:1; surat Yusuf
[12]:1; surat Ibrahim [14]:1; surat Al-Hijr [15]:1; yang diawali huruf alif lam ra, surat Asy-Syuara’ [26]:1;
surat Al-Qashshash [28]:1 yang diawali huruf tha sin mim.
4.
Terdiri
atas empat huruf, terdapat pada dua tempat: surat Al-A’raf [7]:1 yang diawali
huruf alif lam mim shad dan surat
Ar-Ra’d [13]:1 yang diawali huruf alif
lam mim ra’.
5.
Terdiri
atas lima huruf, terdapat pada satu tempat: surat Maryam [19]: 1 yang diawali
huruf kaf ha ya ‘ain shad.
D.
Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabih
dalam Al-Qur’an
Diantara
hikmah keberadaan ayat-ayat mtasyabih di dalam Al-Qur’an dan ketidakmampuan akal
untuk mengetahuinya adalah berikut ini :
1.
Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Ayat-ayat
mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap
Allah karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap
ayat-ayat mutasyabih itu.
2.
Teguran bagi orang-orang yang
mengotak-atik ayat mutasyabih
Pada
penghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru illa ulu Al-albab sebagai cercaan terhadap
orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih.
Sebaliknya, memberikan pujian pada porang-orang yang mendalami ilmunya, yakni
orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuknya untuk mengotak-atik ayat-ayat
mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzigh qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya
dan mengharapkan ilmu ladunni.
3.
Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah
kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya
Sebagaimana
dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran indrawi
terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan
gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan
dengan itu Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam
hal pemilikan anggota badan.
Comments
Post a Comment